Search

Doktrin Pancasila untuk Para Calon 'Pengantin' Tanggung

Ironi lembaga pendidikan di Indonesia sedikit terungkap ketika lebih dari 1.600 siswa Kerohanian Islam (Rohis) berkumpul di Bumi Perkemahan Cibubur, Jakarta Timur, Mei 2016.

Pemerintah mengumpulkan para aktivis Rohis unggulan tingkat SMA se-Indonesia untuk mengedukasikan kembali pedoman hidup bertoleransi. Pada saat bersamaan, pertemuan itu membuahkan kesimpulan bahwa sekolah kini berpotensi jadi ruang penyemaian radikalisme.

Berdasar hasil riset dari 1.626 angket peserta Rohis, Wahid Foundation menyimpulkan potensi radikalisme di kalangan aktivis Rohis cukup mengkhawatirkan.

Simpulan itu merujuk dari pandangan para peserta terhadap isu-isu pidana dan politik Islam, dukungan terhadap organisasi radikal, serta tingkat partisipasi tindakan radikal.

Respons para siswa di antaranya berkaitan dengan dukungan terhadap ide kekhalifahan (78 persen), meyakini Osama bin Laden mati syahid (37 persen), dan siap berangkat jika ada panggilan berjihad ke Palestina, Suriah, atau Poso (68 persen).

Sebanyak 33 persen responden juga meyakini bahwa Amrozi dan Bahrun Naim adalah contoh muslim yang mempraktikan jihad sejati.

Riset bertajuk Laporan Narasi Potensi Radikalisme Rohis itu menyimpulkan bahwa para aktivis Rohis itu merupakan calon-calon potensial yang bisa dipengaruhi pemikiran radikal untuk menjadi 'pengantin' --istilah yang digunakan untuk para pelaku bom bunuh diri atas nama jihad.

Jika sekolah diibaratkan sebagai ruang semai para remaja tanggung yang siap jihad, maka pemupukannya ada di tingkat kampus.

Direktur Wahid Institute Yenny Wahid mengatakan, selama ini tak sedikit orang yang salah kaprah menganggap radikalisme dekat dengan kelompok berpendidikan rendah dan berpenghasilan kecil.

"Ternyata itu tidak ada hubungannya sama sekali. Contoh Bahrun Naim, S2 UI dan anak saudagar batik di Solo. Dia sekarang ISIS," kata Yenny di Balai Kartini, Jakarta Selatan, Senin (14/8).

Kementerian Ristekdikti kini tengah memutar otak untuk menyumbat arus benih pemikiran radikal berkembang di kampus. Kurikulum bersifat propaganda itu mereka namakan Penguatan Pendidikan Pancasila.

Membumikan Pancasila

Direktur Pembelajaran Direktorat Jenderal Pembelajaran dan Kemahasiswaan Kemristekdikti, Paristiyanti Nurwardani mengatakan, semua dosen di kampus diwajibkan menyampaikan nilai-nilai Pancasila dan mengaitkannya dengan bahan ajar yang disampaikan.

“Melalui surat edaran Menteri, kita mewajibkan semua dosen mata kuliah apa pun menyisipkan tiga sampai lima menit nilai-nilai Pancasila agar diekspresikan di masing-masing profesi dosen tersebut,” tutur Paris saat ditemui CNNIndonesia.com beberapa waktu lalu.

Paris memberikan contoh. Ketika mahasiswa sedang belajar mengenai pembuatan kapal, dosen teknik harus mengaitkan bahan ajarnya dengan nilai yang terkandung dalam Pancasila.

Ia menganggap itu hal yang dibuat-buat karena nilai-nilai luhur Pancasila, menurutnya, selalu dapat dikaitkan dengan berbagai disiplin keilmuan.

“Misalnya, membuat kapal yang besar. Apa nilai Pancasila yang bisa disampaikan? Musyawarah. Para pembuat kapal tentu harus musyawarah demi mendapatkan hasil yang terbaik,” ujarnya.

Program tersebut, lanjut Paris, merupakan misi yang ditempuh Kemenristekdikti di aspek kurikuler. Paris mengatakan, pihaknya juga memiliki misi di dua aspek lainnya yaitu kokurikuler dan ekstrakurikuler.

Dari sisi kokurikuler, Paris mendorong mahasiswa untuk membuat suatu karya yang berisi solusi terkait masalah yang ada di lingkungan sekitarnya atau dalam lingkup nasional. Tentunya, solusi yang dibuat oleh mahasiswa mesti mengacu kepada nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila.

“Kokulikulernya diberi tugas problem base solving. Jadi mahasiswa itu menjadi agent of change untuk lingkungannya,” ujar Paris.

Mahasiwa harus terjun ke lapangan untuk melihat langsung dalam rangka mengumpulkan informasi terkait permasalahan yang ada di masyarakat. Mahasiswa, lanjut Paris, lalu mencari solusi atas permasalahan itu dengan teori-teori serta nilai-nilai Pancasila.

“Jadi mahasiswa itu bukan hanya belajar teks book saja, tapi juga belajar membaca lingkungan dan menjadi solusi bagi permasalahan lingkungan yang ada,” papar Paris.

Paris melanjutkan, para mahasiswa dibebaskan untuk menentukan tema yang akan dibuat. Menurutnya, cara tersebut lebih baik daripada dosen terkait yang menentukan.

Dia tidak memungkiri bahwa mahasiswa dan dosen memiliki pandangan yang berbeda. Termasuk kadar kekritisannya.

Sementara perihal ekstrakurikuler, Kemristekdikti bakal mendorong mahasiswa untuk selalu ingat nilai-nilai Pancasila di mana pun berada.

Paris lalu memberikan perumpamaan. Apabila ada mahasiswa yang bergelut dengan dunia fotografi, mahasiswa tersebut mesti ingat dengan nilai-nilai Pancasila saat mendatangi suatu objek yang dipotretnya.

“Kalau ke Raja Ampat, mau memfoto, dia harus ingat bisa enggak menciptakan satu terumbu karang? Tidak bisa. Hanya Tuhan yang bisa, nah itu Ketuhanan yang Maha Esa,” tutur Paris. </span> (gil/wis)

Let's block ads! (Why?)

Baca Kelanjutan Doktrin Pancasila untuk Para Calon 'Pengantin' Tanggung : http://ift.tt/2uTavtj

Bagikan Berita Ini

0 Response to "Doktrin Pancasila untuk Para Calon 'Pengantin' Tanggung"

Post a Comment

Powered by Blogger.