Hal itu dirasakan oleh Jack, begitu ia sering disapa, selama menjadi mahasiswa jurusan Hukum di perguruan tinggi swasta di Jakarta ini sejak 2012 silam.
Pasalnya, berbeda dengan perguruan tinggi lain di Indonesia, mungkin UBK adalah satu-satunya kampus yang 'mewajibkan' setiap mahasiswanya untuk memahami ajaran dan pemikiran presiden pertama Indonesia, Ir. H. Sukarno.
"Semua itu dibahas secara konkret di UBK, tersaji dengan sangat baik dalam kurikulum. Ajaran Bung Karno diterapkan di semua fakultas selama minimal 4 semester," ujar pria asal Ambon, Maluku tersebut.
Padahal kalau ingin, Jack yang tumbuh besar dengan ajaran Kristen Katolik, bisa saja bergabung dengan Perhimpunan Mahasiswa Kristen Republik Indonesia (PMKRI).
"Tapi, dari organisasi tersebut, saya justru tidak temukan apa yang jadi tujuan saya masuk UBK. Karena, menurut saya, kalau saya ingin menegaskan identitas diri saya sebagai seorang Katolik, saya harus bertemu dengan orang lain," ujar Jack.
Universitas itu juga menjadi ruang terbuka, sehingga pelbagai ideologi—termasuk ide soal khilafah oleh Hizbut Tahrir Indonesia—mencuat di sana. Walaupun demikian, dirinya mengklaim belum pernah bertemu dengan aktivis Gema Pembebasan—organisasi sayap HTI—di kampus.
"Lalu, bukan karena seseorang memulai diskusi tentang khilafah lalu kita bisa menjustifikasi bahwa ia adalah kader HTI, kan? Selama diskusi itu merupakan diskusi ilmiah, dalam artian untuk menambah pemahaman kawan-kawan, kami sangat terbuka,” katanya.
"Peta politik GMNI di UIN memang tidak kuat. Sudah pasti kalah dengan HMI atau PMII yang memang sudah mendarah daging di kampus ini. Wajar, kampus Islam," kata Fachri Hidayat.
GMNI saat bertemu dengan Presiden Joko Widodo beberapa waktu lalu. (CNN Indonesia/Christie Stefanie)
|
Fachri adalah mahasiswa tingkat akhir jurusan Bahasa dan Sastra Arab UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, yang sekarang menjabat sebagai Sekretaris Jenderal DPC GMNI Tangerang Selatan. Tugas Fachri dan kawan-kawan GMNI di UIN Jakarta untuk 'menjaring' kader baru relatif lebih berat.
Mereka perlu menekankan pemikiran seorang Sukarno soal Islam, untuk menciptakan kedekatan dengan para kader yang sebagian besar memang penganut Islam.
"Meski latar belakang keluarga Bung Karno multikultural. Bapaknya Islam Abangan, sementara ibunya Hindu. Tapi, pada awalnya, Bung Karno menggali Pancasila itu dari pemikiran Islam," kata Fachri.
Juga gelar kehormatan bidang Ilmu Tauhid dari Universitas Muhammadiyah, Jakarta pada 1965, serta dari Universitas Al Azhar, Kairo, Mesir untuk Ilmu Filsafat.
"Dari sini kan, bisa dilihat kalau secara akademis, pemikiran Islam Bung Karno sudah diakui," ujarnya.
Pancasila Harga Mati
Sebagai kader GMNI, dia menuturkan, Pancasila jelas harga mati. Namun, tak jauh berbeda dengan Jack, ia pribadi menerima kemungkinan untuk berdiskusi mengenai sistem kekhilafahan yang diusung HTI.
"Apalagi, akhir-akhir ini saya amati, propaganda mereka bagus-bagus, lho. Maksudnya, menarik. Enggak lagi membawa kalimat jihad, tapi justru seperti pelatihan kepemimpinan atau jurnalistik," kata Fachri.
Belum lagi, ujar Fachri, tidak semua kader HTI dapat dibedakan dari penampilannya.
"Saya kenal dengan salah seorang kader HTI. Penampilannya, justru fashionable. Bukan seperti yang digambarkan orang-orang, pakai celana cingkrang, berjenggot, dan sebagainya. Tapi justru kayak mahasiswa pada umumnya saja," ujarnya.
"HTI ini, kalau di UIN enggak laku," kata dia. </span> (asa)
Baca Kelanjutan Saat Penyebar Sukarnoisme Bicara Islam dan Khilafah : http://ift.tt/2uKE30cBagikan Berita Ini
0 Response to "Saat Penyebar Sukarnoisme Bicara Islam dan Khilafah"
Post a Comment