M Rizki Akbar, anak berusia dua tahun, menjadi salah satu korban penolakan rumah sakit atas pasien BPJS Kesehatan. Kejadian nahas yang menimpa Rizki terjadi pertengahan 2016 lalu di Kota Tangerang, Banten.
Rizki merupakan anak yang menderita penyakit jantung. Sebelum meninggal dunia, beberapa rumah sakit menolak menanganinya.
Rizki tercatat enam kali berpindah-pindah rumah sakit hanya untuk dilayani secara layak. Awalnya, ia diduga menderita batuk dan radang. Namun, pemeriksaan lanjutan mengindikasikan bahwa Rizki memiliki penyakit di jantung.
Berbagai alasan muncul untuk menolak penanganan terhadap Rizki. Ketiadaan ruang rawat, tidak lengkapnya fasilitas rumah sakit, hingga keharusan membayar uang muka sebelum mendapat fasilitas kesehatan adalah alasan yang dikemukakan.
Pada akhirnya Rizki dapat ditangani dan dirawat salah satu rumah sakit di Tangerang Selatan. Itupun layanan medis baru diberikan setelah orangtua Rizki membayar uang muka. Kartu BPJS miliknya tidak diterima rumah sakit karena belum bekerja sama dengan dengan BPJS. Setelah menjalani perawatan di rumah sakit swasta itu, nyawa Rizki tak tertolong.
Penolakan pasien BPJS Kesehatan juga kerap dilakukan beberapa rumah sakit di Kota Bekasi. Ada penolakan seorang pasien BPJS Kesehatan oleh tujuh rumah sakit yang terjadi Juni lalu.
Saat itu alasan yang digunakan pihak rumah sakit adalah ketiadaan kamar serta fasilitas untuk menanganinya.
Karena sulit mendapat kamar, Reny akhirnya dilarikan ke RSUD Koja, Jakarta Utara. Sayang, nyawa anaknya yang dilahirkan dengan proses sesar tak terselamatkan karena terlambat ditangani.
Perlakuan diskriminatif terhadap peserta BPJS Kesehatan juga ditemukan di Jember, Jawa Timur.
|
Sebelum ada program BPJS Kesehatan, penolakan pengobatan berujung kematian juga sempat terjadi di ibu kota. Pada 16 Februari 2013 seorang bayi bernama Dera Nur Angggraini meninggal dunia setelah tak mendapat perawatan di delapan rumah sakit.
Alasan serupa dengan kejadian lain digunakan untuk menolak Dera; nihilnya ruang perawatan, ketiadaan tenaga medis, hingga tidak adanya Kartu Jakarta Sehat yang dimiliki orangtua Dera.
Layanan kesehatan tanpa diskriminasi sebenarnya telah dilindungi Undang-Undang Dasar 1945 dan Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009.
UU 44/2009 tentang Rumah Sakit telah spesifik mengatur ketentuan bahwa rumah sakit harus menangani pasien gawat darurat tanpa mempertimbangkan faktor biaya. Ketentuan itu terdapat di Pasal 29 ayat 1 butir (f).
Jika tidak mengindahkan kewajibannya, rumah sakit terkait dapat diberi sanksi mulai dari teguran, teguran tertulis, hingga denda dan pencabutan izin. Hal itu tercantum pada Pasal 29 ayat 2 UU 44/2009.
Kasus bayi Debora seakan kembali mengingatkan publik pada sejumlah kasus penolakan pada pasien BJPS. Bayi empat bulan itu pekan lalu meninggal saat dirawat di Rumah Sakit Mitra Keluarga Kalideres, Jakarta Barat.
Ia tak dirawat di perawatan intensif khusus anak (PICU) karena orang tuanya tak bisa membayar uang muka Rp19,8 juta. Kartu BPJS Kesehatan yang dimiliki tak bisa digunakan karena rumah sakit belum bekerja sama. </span> (sur)
Baca Kelanjutan Ragam Kasus Mirip Bayi Debora : http://ift.tt/2f0pYFmBagikan Berita Ini
0 Response to "Ragam Kasus Mirip Bayi Debora"
Post a Comment