Search

Mencoba bangkit di tengah puing

Jakarta (ANTARA) - Terik matahari bersemayam di atas langit Kota Jakarta yang terpapar polusi udara. Pun begitu udara di Jalan Lebak Swadaya I Kampung Bali Matraman RW 07, Tebet, Jakarta Selatan yang masih terpapar debu puing setelah musibah kebakaran yang terjadi pada Rabu (10/7).

Menjelang malam (Minggu, 14/7), binatang kecil tiba-tiba riuh bersuara. Waktu menunjukkan pukul 17.58 WIB, tepat setelah adzan Maghrib berkumandang di sekitaran lokasi pengungsi korban kebakaran, Tebet, Jakarta Selatan.

Membubung suara binatang kecil itu dengan lincah. Wujudnya mungkin tak terlihat, namun suara mendengungnya selalu terdengar bising di telinga.

Suara itu akan sangat mengganggu saat tidur di malam hari, menghilangkan mimpi indah bagi pengungsi korban kebakaran Tebet.

Bunyi dengungan itu tetap terdengar sekalipun sudah menggunakan "lotion" anti nyamuk, bahan alami pengusir nyamuk, sampai obat nyamuk. Si nyamuk ternyata lebih suka berkumpul dan membuat bunyi-bunyian bising di sekitar telinga.

Debu puing, bau 'lotion', suara nyamuk, dan suasana udara yang panas menjadi satu, menjadi bagian yang harus dilalui bagi para pengungsi setiap malamnya.

"Ikhlas saja, suasananya sudah seperti ini, kalau kantuk sudah menyerang, tidak terasa gigitan maupun suaranya," ujar staf Rukun Warga 07, Pudri kepada Antara di Jakarta, Minggu.

Namun, tak jarang pula anak-anak yang tiba-tiba terbangun dari tidur pada dini hari karena gigitan nyamuk maupun udara panas tenda pengungsian.

"Keterbatasan kipas angin, itu mungkin menjadi salah satu faktor udara panas dan nyamuk yang mengganggu warga beristirahat di tenda pengungsian," katanya.

Ia berharap warga korban kebakaran dapat mencari tempat lain yang lebih nyaman, seperti kediaman keluarganya atau menyewa rumah sementara agar anak-anak dapat tempat yang lebih nyaman, dan tidak mengganggu aktivitas sekolahnya.

"Tidak mungkin terus-terusan tinggal di tenda maupun rumah ibadah, garasi, maupun ruang kosong di rumah milik warga lainnya. Sebagian memang ada yang mengungsi ke tempat keluarganya dan ada juga yang menyewa rumah," katanya.

Namun, lanjut dia, jumlah pengungsi ke luar lokasi musibah tidak lebih banyak dibanding yang masih mengungsi. Menurut dia, faktor uang menjadi salah satu permasalahan yang membuat korban bertahan di tempat pengungsian.

"Maaf, uang menjadi kendala bagi korban untuk berpindah dari tempat pengungsian, menyewa rumah kan butuh uang, sementara uang korban kebakaran terbatas," kata Pudri berbisik.

Kendati demikian, ia bersyukur banyak bantuan yang datang, baik berupa makanan, minuman, pakaian sehari-hari, pakaian sekolah hingga sepatu.

Bantuan itu datang dari berbagai pihak mulai dari BNPB, Kementerian Sosial RI, Dinas Sosial DKI Jakarta, Suku Dinsos Jakarta Selatan, Kecamatan Tebet, Kelurahan Manggarai, partai, yayasan, korporasi, hingga masyarakat sekitar.

Warga korban kebakaran Rukun Warga 07 Kelurahan Manggarai, Kecamatan Tebet, Jakarta Selatan, menempati puing rumahnya beratap terpal sebagai peristirahatan sementara, Jakarta, Minggu (14/7/219). (ANTARA News/ Zubi Mahrofi)
Terpal

Menurut Pudri, salah satu solusi sederhana bagi korban kebakaran untuk kembali ke rumah yakni ketersediaan terpal dan karpet.

"Beberapa rumah terkena kebakaran temboknya masih berdiri tegak, sehingga bagian atasnya masih memungkinkan dipasang terpal sebagai pengganti atap rumah dan karpet sebagai alas untuk tidur," ujarnya.

Setidaknya, menurut dia, solusi itu dapat dijadikan tempat peristirahatan sementara meski di tengah puing seraya menunggu waktu untuk kembali membangun rumahnya.

"Beberapa korban ada yang ingin kembali ke rumah masing-masing, namun minimnya ketersediaan terpal dan karpet membuat warga enggan kembali ke rumahnya," ujarnya.

"Kalau ada terpal, setidaknya warga terutama bapak-bapaknya bisa tidur di tempat layak, tidak disembarang tempat seperti halaman masjid atau di garasi warga yang tidak terkena musibah," katanya.

Salah satu warga RT 04, Dade (52) berencana menempati puing rumahnya jika sudah ada terpal dan karpet sebagai tempat tinggal sementara.

"Rumah saya terkena tapi tidak Sampai rata. Tapi tidak bisa pulang. Kalau tidak ada terpal dan karpet bagaimana bisa kami menempati atau tidur di
​​​​tengah puing," ucapnya.

Warga berjalan melintasi karung berisikan sisa dan puing bekas kebakaran yang melanda Rukun Warga 07 Kelurahan Manggarai, Kecamatan Tebet Jakarta Selatan, Minggu (14/7/219). (ANTARA News/ Zubi Mahrofi)
Piknik

Pudri berangan-angan untuk membawa warganya untuk sedikit bergembira dengan bertamasya ke salah satu tempat wisata di Jakarta.

"Setelah semua pulih kita mau rencanakan piknik, yang dekat-dekat saja kaya Pantai Ancol," ujar Pudri.

Ia mengaku, rencana itu terpikirkan setelah melihat sebagian warganya yang terkena musibah kebakaran mengalami trauma dan emosi yang kurang stabil.

"Kami di sini tiba-tiba suka ingat kejadian itu (kebakaran), jadi sedih, solusinya mungkin piknik," ucapnya.

Ia menambahkan tidak hanya orang dewasa, anak-anak setidaknya juga mengalami trauma. Namun, dirinya bersyukur, banyak komunitas yang membantu dengan menerjunkan psikolog dan konselor kejiwaan untuk mendampingi anak-anak korban kebakaran.

"Alhamdulillah banyak bantuan datang termasuk ada psikolog untuk mengurangi trauma yang dialami anak-anak" katanya.

Sementara itu, salah satu warga, Sukardi (69) menyambut antusias angan-angan Pudri yang berencana mengadakan wisata. Ia mengaku sudah lama tidak berwisata ke suatu tempat rekreasi untuk sekedar melepas penat.

"Ide bagus tuh kalau semua sudah beres, kita ramai-ramai piknik," ucapnya dengan nada riang.

Masih ingat betul suasana mencekam bagi Sukardi ketika terjadi musibah kebakaran pada Rabu, 10 Juli 2109. Auman sirene mobil pemadam kebakaran bersambut kepanikan warga.

Ada yang berlari keluar gang setapak, ada yang masuk ke dalam rumah mencari barang berharga yang bisa diselamatkan, ada juga yang berteriak histeris dan tak tahu apa yang harus diperbuat.

Ketika itu, ia mengambil inisiatif meminta kepada perempuan dan anak-anak untuk pergi dari kawasan padat pemukiman Kampung Bali Matraman, Manggarai, Tebet, Jakarta Selatan.

"Yang laki-laki jangan kemana-mana, siapin ember, ambil air bantu padam api. Yang perempuan dan anak-anak keluar, selamatkan diri," cerita Sukardi ketika itu dengan berteriak.

Api berkobar sekitar pukul 10.50 WIB. Dan Pemadam Kebakaran (Damkar) DKI Jakarta berhasil memadamkan kebakaran di permukiman padat penduduk di Kampung Bali Matraman, Manggarai, Tebet, Jakarta Selatan, Rabu (10/7) sekitar pukul 15.30 WIB

Rumah padat penduduk itu berlokasi di RW 07, terdiri dari RT04, RT05, RT10, RT11, RT12, dan RT13. Sebanyak 169 rumah dilalap si jago merah. Terdapat 239 KK, sebanyak 856 jiwa menjadi korban kebakaran. Kerugian akibat ganasnya si jago merah itu mencapai sekira Rp2 miliar.

Berdasarkan keterangan sejumlah saksi, kebakaran diduga dipicu meledaknya kompor salah satu warga setempat.

Ke depan, Pudri beserta jajaran pengurus RW akan lebih gencar melakukan sosialisasi kepada warga mengenai pemasangan instalasi listrik dan penggunaan kompor yang sesuai dengan standar keamanan untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan.

Saat ini, Pudri dan warga memang tidak bisa berbuat banyak, hanya satu yang dipikirkan, yakni bangkit dan tidak larut dalam kesedihan dan anak-anak kembali riang serta lincah berlarian di gang-gang jalan sempit kampung. Tinggal di dalam rumah seperti sebelum terkena musibah dengan nyaman, tanpa diganggu dengungan atau gigitan serangga yang ganas. 

Tasawuf Underground, pengajian Anak Punk

Oleh Zubi Mahrofi
Editor: Yuniardi Ferdinand
COPYRIGHT © ANTARA 2019

Let's block ads! (Why?)

https://www.antaranews.com/berita/955857/mencoba-bangkit-di-tengah-puing

Bagikan Berita Ini

0 Response to "Mencoba bangkit di tengah puing"

Post a Comment

Powered by Blogger.