Meski tanpa isi, roti tipis yang tengah dinikmati Lusi terkenal unik karena rasanya yang sedikit manis dan gurih berbentuk hewan buaya.
“Enak ya sore-sore gini ngadem di pinggir kali sambil gadoin roti buaya, Bang. Lusi jadi inget waktu dulu Abang sekeluarga datang ke rumah Lusi,” kata Lusi menyenggol lengan suaminya yang bernama Harun.
Tanpa komando, Harun segera membalas candaan Lusi dengan menjentikkan jemari di hidung wanita idamannya itu.
Mungkin pikiran Harun segera melayang ke beberapa tahun silam ketika ia dan keluarga besarnya datang ke rumah keluarga Lusi di bilangan Cakung, Jakarta Timur, untuk meminang sang pujaan hati.
Kala itu, Harun tidak lupa menyiapkan rangkaian bingkisan pelengkap prosesi pernikahan, termasuk roti buaya yang menjadi ciri khas budaya Betawi.
“Syukurlah saat ini roti buaya masih tetap dipertahankan warga Jakarta, tidak hanya sebagai pernak-pernik dalam adat pernikahan tetapi juga untuk menyemarakkan acara-acara yang bernuansa budaya Betawi,” kata Harun kepada Antara, Minggu.
Harun dan Lusi tengah menghabiskan akhir pekan mereka di kawasan Pasar Baru, Jakarta Pusat. Di tempat tersebut selama 13-14 Juli 2019, Suku Dinas Pariwisata dan Kebudayaan (Sudin Parbud) Jakarta Pusat menggelar Festival Pasar Baru di sepanjang Jalan Antara, Sawah Besar.
Bertema Warna-warni Pasar Baru Dalam Festival kegiatan ini terbuka untuk umum sejak pukul 10.00 WIB hingga 21.00 WIB. Selain terbuka untuk umum, tentu saja kegiatan ini gratis alias tidak dipungut biaya.
Baca juga: Ada dodol betawi di Festival Pasar Baru
Baca juga: Masyarakat antusias kunjungi Festival Pasar Baru
Festival Pasar Baru mulai diperkenalkan kepada khalayak pada tahun 1999. Sejak dulu, perayaan yang awalnya bernama Festival Passer Baroe itu bertujuan untuk mempromosikan kawasan Pasar Baru sebagai destinasi wisata belanja.
Selain itu, festival ini kerap diselenggarakan bertepatan dengan perayaan hari jadi Kota Jakarta 22 Juni.
Wakil Wali Kota Jakarta Pusat, Irwandi mengatakan festival ini memiliki keterikatan sejarah yang amat panjang dengan dinamika ibu kota. Pasar Baru sudah sejak lama menjadi kiblat wisata fashion yang menjual berbagai produk dari berbagai belahan dunia.
Sekarang sudah era belanja digital. Orang lebih suka belanja dari rumah ketimbang ke toko.
"Karena itulah lewat perayaan ini kami ingin menghidupkan kembali Pasar Baru sebagai pusat perbelanjaan yang mengasyikkan," kata Irwandi.
Upaya menghidupkan kembali kawasan Pasar Baru sebagai destinasi wisata belanja akan diperkuat dengan penataan kembali wilayah dan penyelenggaraan beragam acara sepanjang tahun.
Pada gelaran yang tidak dipungut biaya masuk ini, Sudin Parbud Jakarta Pusat tidak hanya menampilkan berbagai ciri khas budaya Betawi seperti kesenian Ondel-ondel, tanjidor, batik Betawi, aneka makanan tradisional seperti kerak telor, laksa dan semur jengkol, namun juga menghadirkan berbagai budaya lain seperti pertunjukan angklung dan barongsai, tari naga, dan tarian India.
“Ya memang budaya Betawi sudah lama bercampur dengan budaya lain seperti Tionghoa, Sunda, Arab dan India. Jadi nonton pertunjukannya pun serasa seperti melihat kebudayaan sendiri,” ungkap Jaja, seorang warga yang datang dari Bekasi.
Tidak hanya mengambil lokasi di jalanan, perayaan ini juga memanfaatkan keberadaan Kali Ciliwung Lama yang membentang sebagai ajang perlombaan dayung perahu karet, tarik perahu, menghias perahu, lomba gebuk bantal dan panjat pinang.
Bisa dipastikan ragam kegiatan lomba ini kerap menarik perhatian pengunjung dan jadi salah satu bagian favorit penyelenggaraan Festival Pasar Baru.
“Seru ya lihat lomba perahu atau kalau ada gebuk bantal dan panjat pinang. Sayangnya untuk tahun ini sepertinya tidak ada atau memang saya yang melewati momennya,” kata Fauzi, warga lainnya yang datang bersama istri dan dua anaknya.
Lomba dayung perahu karet Festival Pasar Baru melibatkan partisipasi warga, petugas Penanganan Sarana dan Prasarana Umum (PPSU), pemadaman kebakaran dan Satpol PP se-Jakarta Pusat.
Selain senang melihat keseruan kompetisi di atas air, Fauzi dan keluarganya juga tampak tidak bosan mengunjungi berbagai stan yang meramaikan Festival Pasar Baru. Salah satu stan yang menjadi favorit Fauzi adalah sajian dodol Betawi.
Kebetulan anak-anaknya menyukai dodol Betawi. Apalagi dodol yang dijual di sini pun memiliki aneka rasa sehingga bisa beli dengan berbagai pilihan.
"Harganya standard lah, nggak murah tapi nggak mahal. Masih terjangkau kantong,” kata Fauzi.
Pengunjung lainnya, Destina, tertarik mendatangi stan jasa seni lukis sketsa wajah yang berada tidak jauh dari area pintu masuk Festival Pasar Baru. Lumayan juga bisa dilukis secara cepat dengan harga yang tidak terlalu mahal.
Hasilnya juga oke dan bisa langsung dibawa pulang,” ujar Destina puas memandangi sketsa wajah menggunakan pensil.
Baca juga: Menelusuri Little India di Pasar Baru
Baca juga: "Cuci Gudang" Pedagang Turunkan Harga 20-50 Persen
Konsisten
Omen dari Komunitas Pelukis Pasar Baru berharap Festival Pasar Baru tetap terselenggara setiap tahun dengan waktu pelaksanaan yang lebih lama. Omen yakin kegiatan semacam ini tidak hanya mempromosikan budaya Betawi dan destinasi belanja Pasar Baru, namun juga memberi gambaran kepada dunia mengenai keragaman budaya Indonesia.
Sejak dua hari ini dia melihat animo dari masyarakat tidak hanya orang Indonesia tetapi juga bule-bule. Mereka sangat menikmati nuansa festival di pinggir kali semacam ini.
"Harapan saya, mungkin acara ini bisa digelar selama satu pekan dengan alokasi stan yang lebih besar sehingga dapat menampung lebih banyak pengunjung,” kata Omen.
Senada dengan Omen, Ardi yang berpartisipasi dengan menjajakan dodol Betawi merasa optimistis hadirnya berbagai festival akan turut mengangkat derajat penjual-penjual makanan lokal seperti dirinya.
Dia bersyukur masih ada yang mau melibatkan para pedagang makanan khas Betawi dalam acara seperti ini. "Kalau bisa, pedagang seperti kami ini juga diberikan peluang untuk bisa menjual produk sampai ke luar negeri,” kata Ardi.
Senja menjelang. Ratusan pengunjung masih memadati kawasan Pasar Baru. Mereka tampak enggan untuk pulang.
Termasuk Lusi dan Harun yang kali ini beranjak dari tepian kali, menapaki stan demi stan demi menjajal manisnya gulali, gurihnya siomay ikan dan sepiring penuh ceker setan pedas Onde Mande.
“Kalau setiap hari ada keriaan kayak gini, asyik juga ya, Bang?” ujar Lusi kepada suaminya.
“Asyik sih asyik, tapi lama-lama dompet Abang bisa kempes nih,” jawab Harun.
Mereka pun berlalu untuk menuju panggung pentas dangdut di salah satu sisi arena festival itu.
Perahu Dayung Di Festival Pasar Baru
Oleh Adnan Nanda
Editor: Sri Muryono
COPYRIGHT © ANTARA 2019
Bagikan Berita Ini
0 Response to "Menjelajahi lorong waktu di Festival Pasar Baru"
Post a Comment