Search

Dikotomi Lembaga Berbasis Agama dan Full Day School

Jakarta, CNN Indonesia -- Pro-kontra full day school membuat saya yang menghabiskan masa pendidikan dasar dan menengah di sekolah semacam itu dan juga pesantren, heran.

Salah satu alasan orang tua saya memilih pendidikan berbasis Islam dengan sistem full day school saat SD, seingat saya, adalah karena mereka sibuk. Meski hanya di Surabaya, bukan kota yang sangat metropolis seperti ibu kota Jakarta, keduanya bekerja seharian.

Full day school praktis membuat saya ikut sibuk seharian. Bangun pukul setengah enam pagi, karena tepat pukul enam ada antar jemput datang ke rumah dan pukul tujuh bel sekolah sudah berdering. Pulang pukul lima sore, sampai rumah sudah sekitar pukul enam.

Tidak ada waktu bagi saya untuk main gobak sodor atau benteng-bentengan. Hampir tidak ada waktu untuk menonton televisi atau nongkrong sana-sini seperti kebanyakan remaja. Saya jarang main ke mal, tidak tahu bagaimana cara bergaya apalagi berpacaran.

Sebaliknya, saya digembleng habis-habisan dengan pelajaran agama di sekolah. Mengawali pagi dengan mengaji, diajari berinfak setiap punya rezeki lebih, dibuat paham soal makna gerakan dan bacaan salat, tidak sekadar menghafal dan menuntaskannya dalam lima menit.

Mungkin itu yang sekarang disebut Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Muhadjir Effendy sebagai penguatan pendidikan karakter (PPK). Diajarkan sejak dini, mau tidak mau basis agama itu melekat dalam benak saya dan membentuk saya jadi pribadi yang sekarang.

Konsep lima hari sekolah mendapat respons keras dari Nahdatul Ulama karena dianggap mengancam keberadaan pondok pesantren. Konsep lima hari sekolah mendapat respons keras dari Nahdatul Ulama karena dianggap mengancam keberadaan pondok pesantren. (ANTARA FOTO/Arif Firmansyah)
Jadi saya tidak mengerti ketika Ketua Umum PBNU KH Said Aqil Siroj justru menolak dasar pendidikan yang sangat baik itu—membuat siswa delapan jam di sekolah selama lima hari, mencekoki mereka dengan pendidikan alih-alih membiarkan mereka nongkrong tidak jelas seharian—dengan alasan tidak cocok sebagai metode untuk menguatkan karakter.

Apa bedanya full day school yang dicanangkan Mendikbud dengan pondok pesantren yang banyak dimiliki NU di daerah-daerah?

Pesantren, bagi saya yang setelah menuntaskan enam tahun di sekolah full day school langsung melanjutkan pendidikan tiga tahun di pondok pesantren di luar kota, justru merupakan pemantapan karakter dengan lebih aplikatif, bukan lagi teori.

Kalau full day school membuat anak delapan jam sehari di sekolah, pesantren menjaganya selama 24 jam. Di sana kami diajarkan disiplin. Setiap pagi kami harus ke masjid, kalau terlambat ada hukuman yang tidak main-main. Sepanjang hari kami diwajibkan bicara bahasa Arab atau Inggris—bahkan tidak boleh bahasa Indonesia—sehingga fasih di keduanya.

Kami juga dipaksa berpidato tiga bahasa sekali seminggu, mengenyahkan rasa takut dan malu untuk berbicara di depan umum. Bukan hanya itu, kami juga digembleng menghafal Alquran.

Jadi kalau soal agama yang dikhawatirkan, full day school dan pesantren seperti yang banyak diterapkan NU, justru sebenarnya saling melengkapi. Dengan delapan jam di full day school dan 24 jam di pesantren, pendidik punya banyak waktu membentuk karakter siswa.

Bukan hanya dengan dasar agama, kalau mau, tetapi juga pengembangan lain untuk karakter.

Jika Said Aqil mengkhawatirkan anak di daerah yang jadi tidak bisa membantu orang tua sepulang sekolah karena harus full day school, itu beda perkara. Bukankah sejak awal disebutkan Mendikbud, full day school digagas karena khawatir melihat pergaulan remaja di kota besar? Full day school hanya salah satu cara membentuk karakter, terutama di kota besar yang para orangtua sibuk dan anak rentan menyalahgunakan waktu luang.

Masih banyak cara lain. Lagipula, sudah disebut bahwa hanya sekolah yang siap dan mau saja yang lebih dahulu menerapkan full day school. Tidak perlu langsung semua.

Penolakan lain yang datang dari forum madrasah, lebih tidak saya mengerti. Alasan Dewan Pengurus Pusat Forum Komunikasi Diniyah Takmiliyah (DPP FKDT), sejauh yang saya mengerti, adalah khawatir full day school akan mematikan layanan pendidikan berbasis keagamaan yang sudah ada selama ini, seperti madrasah diniyah dan lembaga pendidikan Alquran.

‘Mematikan’ yang dimaksud, apakah ‘mematikan’ dari segi bisnis?

Berbagai penolakan datang ketika Mendikbud ingin menerapkan konsep full day school. Berbagai penolakan datang ketika Mendikbud ingin menerapkan konsep full day school. (CNN Indonesia/Safir Makki)
Full day school saya semasa SD dan pondok pesantren ketika hidup saya ditanggung 24 jam, memang tidak murah. Orang tua saya harus membayar dua atau mungkin tiga kali dibanding orang tua lain yang menyekolahkan anaknya di pendidikan negeri, bukan swasta.

Jika madrasah diniyah takut bersaing karena dengan diterapkannya kebijakan itu artinya semua sekolah jadi full day school, apakah itu artinya mereka takut kehilangan uang? Bukankah kalau tujuannya sama-sama membangun karakter, harga pendidikan seharusnya tak jadi soal? Perkara siapa yang dapat uangnya atau siapa yang makan porsinya, beda lagi.

Tapi apakah lacur, ketika lembaga pendidikan berebut porsi ekonomi?

Jadi apa sebenarnya alasan lembaga-lembaga Islam justru menolak full day school, yang menurut pengalaman saya, justru menjadi wadah paling efektif membangun dasar agama? (yns)

Let's block ads! (Why?)

Baca Kelanjutan Dikotomi Lembaga Berbasis Agama dan Full Day School : http://ift.tt/2u1EamD

Bagikan Berita Ini

0 Response to "Dikotomi Lembaga Berbasis Agama dan Full Day School"

Post a Comment

Powered by Blogger.