Namun yang terjadi saat ini sejumlah tokoh dikenai pasal makar karena dituding pernah berdiskusi dan merencanakan demonstrasi.
Eko mengatakan, makar di Indonesia ditafsirkan sebagai demonstrasi, ekspresi mengkritik pemerintah, dan ekspresi mengatakan bahwa pemerintah tidak adil.
Menurutnya, dalam negara demokrasi, kebebasan berekspresi harus dihargai. Eko mengatakan, kebebasan berekspresi adalah salah satu cara untuk memastikan pemerintahan berjalan dengan baik.
“Pasal makar tidak boleh dipakai untuk memberangus kebebasan warga negara," katanya.
Eko sependapat dengan ahli hukum pidana Andi Hamzah yang juga bersaksi di sidang tersebut. Menurutnya ada kesalahan tafsir makar saat ini.
Keduanya mengacu pada pengertian makar atau anslaag dalam bahasa Belanda yang berarti tindakan, permulaan atau percobaan, dan upaya menggulingkan pemerintahan dengan ekspresi fisik, seperti dengan senjata, mobil tank, dan sebagainya.
Ahli dari pihak pemohon juga mempermasalahkan definisi makar yang belum ada di KUHP. Padahal, makar harus didefinisikan dalam bentuk perilaku yang lebih jelas agar dapat dibedakan antara tindak pidana makar dengan tindak pidana lainnya.
Pemohon uji materi pasal makar ini adalah Hans Wilson Walder, Meki Elosak, Jemi Yermias Kapanai, John Jonga, dan Yayasan Satu Keadilan. Para pemohon merasa jaminan kebebasan untuk menyampaikan kritikan terhadap pemerintah dapat terancam dengan adanya pasal makar. </span> (sur)
Baca Kelanjutan Penggunaan Pasal Makar untuk Jerat Tokoh Dinilai Berlebihan : http://ift.tt/2uWEeCqBagikan Berita Ini
0 Response to "Penggunaan Pasal Makar untuk Jerat Tokoh Dinilai Berlebihan"
Post a Comment