Search

Filep Karma dan Janji Papua Jokowi yang Tra Terpenuhi

Sosok Filep Karma mungkin tak jua berubah hingga hari ini. Pribadinya masih hangat dan menyenangkan. Dia juga dikenal sering membawakan cerita lucu—mop—ala orang Papua. Siang pertengahan Agustus lalu di Jakarta, Filep memakai safari warna coklat dalam perayaan ulang tahunnya yang sederhana.

Ada emblem bergambar bendera bintang kejora di dadanya. Janggutnya juga masih dibiarkan memanjang dan dikuncir.

Jalannya agak pelan siang itu. Filep sempat jatuh dari sepeda motor yang dikendarainya pada 17 Juni lalu di Jayapura, Papua. Saat itu, dia baru saja menghadiri acara pemberkatan anak koleganya di Gereja Sion Dok 8.

Akibat kecelakaan tersebut, lutut kanannya bermasalah—diduga ada ligamen yang rusak, sehingga harus dilakukan operasi.

Filep adalah bekas tahanan politik yang menyuarakan Papua merdeka. Usianya kini 58 tahun. Dia sempat memimpin pengibaran bendera Bintang Kejora di Biak pada 1998 dan akhirnya dipenjara. Namun dua tahun kemudian dia dibebaskan. 

Pada 2004, dia kembali melakukan aksi serupa sehingga dituduh makar. Filep dihukum 15 tahun penjara namun akhirnya dibebaskan pada 19 November 2015.

Namun, sikapnya tak berubah terhadap kekuasaan.

“Apakah tetap mempertahankan NKRI, tapi hidup dalam penindasan?” kata Filep pada siang itu.

Dia mengkritik pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla karena dugaan pelanggaran hak asasi manusia (HAM) di Papua yang semakin memburuk.

Padahal, Jokowi berjanji agar Papua menjadi tanah yang damai saat memberikan sambutan di acara Natal Bersama Nasional di Jayapura pada Desember 2014, dua bulan setelah dia dilantik sebagai Presiden.

Jokowi saat itu menyatakan dirinya ingin mendengarkan lebih banyak suara rakyat Papua.

“Semangat untuk mendengar dan berdialog dengan hati,” kata Presiden dalam sambutannya. “Inilah yang ingin saya gunakan sebagai fondasi untuk menatap masa depan Tanah Papua.”

Namun, masa depan soal HAM di Papua semakin tak terang.

Filep Karma dan Janji Papua Jokowi yang <i>Tra<i/> (EMBGO)Bekas tahanan politik Filep Karma mengkritik pemerintahan Jokowi soal pelanggaran HAM yang terjadi di Papua. (CNN Indonesia/Anggi Kusumadewi)

Kasus Kekerasan di Papua

Laporan Setara Institute terakhir menunjukkan bahwa dugaan peristiwa pelanggaran HAM di Papua dan Papua Barat sepanjang 2015—2016 justru kian meningkat. Dari 16 peristiwa pada 2015 menjadi 68 peristiwa di medio 2016.

Dalam 68 peristiwa itu, terdapat 18 jenis dugaan pelanggaran dengan 107 jumlah tindakan. Sepuluh jenis dugaan pelanggaran terbesar adalah penangkapan (33 tindakan); penyiksaan (12 tindakan); pembubaran paksa (3 tindakan); pembunuhan (3 tindakan); dan salah tangkap (1 tindakan).

Lima tindakan lainnya adalah pelarangan liputan (1 tindakan); pengusiran (2 tindakan); intimidasi (1 tindakan); kekerasan fisik (4 tindakan); serta kekerasan seksual (1 tindakan).

“Di dalam ranah kebijakan, Presiden Joko Widodo tak memiliki satu pun kebijakan dalam menyelesaikan kasus pelanggaran HAM di Papua,” kata Peneliti HAM Setara Institute Achmad Fanani Rosyidi. 

Riset itu juga menemukan aktor negara mendominasi kekerasan yang terjadi terhadap orang-orang Papua.

Setara mencatat masing-masing adalah Polri (42 tindakan); aparat gabungan TNI-Polri (12 tindakan); Satpol PP (1 tindakan); TNI (5 tindakan); Pemerintah Pusat (1 tindakan); Kadiknas Kabupaten Dogiyai (1 tindakan); Bara NKRI (1 tindakan); serta Kementerian Komunikasi dan Informasi (1 tindakan).

Pelbagai kejadian itu terjadi di Papua hingga luar Papua. Wilayah itu di antaranya adalah Jayapura, Merauke, Jayawijaya, Sorong hingga Yahukimo dan Kaimana. Lainnya juga terjadi di Manokwari, Fakfak, Nabire dan Dogiyai. Di luar Papua adalah Jakarta dan Yogyakarta.

“Korban terbanyak pertama dialami warga sipil sebanyak 2.214 orang,” kata Achmad. “Penangkapan hampir tiga ribuan aktivis Papua di tahun 2016 merupakan sebuah sejarah HAM paling kelam.

Filep Karma dan Janji Papua Jokowi yang <i>Tra</i> (EMBGO)Salah satu aksi protes warga Papua di Jakarta pada Agustus lalu. (CNNIndonesia/Safir Makki)

Jejak Sikap Jokowi

CNNIndonesia.com juga melakukan penelusuran respons terhadap dugaan pelanggaran HAM di Papua melalui keterangan resmi pemerintah Jokowi-Jusuf Kalla di situs Sekretariat Kabinet untuk periode Desember 2014—Agustus 2017. Tujuannya, ingin mengetahui berapa banyak pemerintah menyikapi kasus kekerasan di kawasan itu secara khusus.

Situs Sekretariat Kabinet sendiri mengunggah setiap kegiatan Presiden Jokowi baik saat melakukan kegiatan maupun memberikan pidato resmi.

Dari pelacakan tersebut, terdapat sedikitnya 30 keterangan resmi tentang Papua, baik berupa berita tentang kunjungan Jokowi ke daerah tersebut hingga transkrip pengantar rapat maupun pidato Presiden. 

Dari total jumlah informasi resmi tersebut, terdapat hanya tujuh pernyataan yang menyinggung masalah HAM di Papua.

Tujuh keterangan itu adalah sikap atas kekerasan di Paniai (Desember 2014); pendekatan dialog untuk mengangkat martabat orang Papua (Maret 2015); membebaskan tahanan politik untuk setop konflik (Mei 2015); penegakan hukum kasus Tolikara (Juli 2015); dan pendekatan adat untuk selesaikan masalah perdamaian (November 2015).

Selain itu, ada pula pembentukan Tim Terpadu Penyelesaian Pelanggaran HAM Papua (Juni 2016); dan terakhir, menyinggung soal pendekatan HAM dalam pembangunan di Papua (November 2016).

Soal HAM di Papua, Luhut Panjaitan sempat angkat suara.

Pada Juni 2016, Menteri Koordinator Politik, Hukum dan Keamananan saat itu, Luhut Panjaitan—yang digantikan oleh Wiranto—mengatakan pihaknya tengah mengkaji sedikitnya 22 kasus kekerasan di Papua.

Pelbagai kasus HAM di Papua juga yang mendasari pembentukan Tim Terpadu Penyelesaian Pelanggaran HAM Papua pada Mei 2016 di bawah pengawasan kementerian tersebut.

Luhut menegaskan salah satu tugas tim itu adalah membuat kriteria soal pelanggaran HAM. Hasilnya, tiga peristiwa kekerasan akhirnya dikategorikan sebagai kasus pelanggaran HAM: Wasior, Wamena dan Paniai. 

“Dapat ditarik kesimpulan bahwa dari 22 kasus yang masuk," kata Luhut dalam keterangan resminya pada Juni 2016. "Ada tiga kasus yang benar-benar bisa digolongkan sebagai pelanggaran HAM, yaitu kasus Wasior, Wamena dan Paniai."

Namun hasil akhir yang sedianya selesai pada Oktober 2016, tak memenuhi target. Tim tersebut akhirnya diperpanjang hingga Oktober 2017.

Kasus Wasior terjadi pada Juni 2001, ketika aparat Brimob-Kodam Cendrawasih menyerbu warga di Desa Wonoboi, Wasior, Manokwari terkait dengan aksi penembakan terhadap sejumlah karyawan perusahaan kayu sebelumnya. Dalam aksi pengejaran itu empat korban diduga tewas, 39 orang terkena tindakan kekerasan serta lima orang hilang. 

Dalam kasus Wamena April 2003, aparat TNI-Polri melakukan pengejaran terhadap kelompok yang diduga membobol gudang senjata Markas Kodim 1702/Wamena. Pengejaran itu mengakibatkan dugaan penyiksaan sehingga diduga menyebabkan sembilan orang tewas, serta pemindahan paksa penduduk. 

Terakhir, kasus Paniai terjadi karena sejumlah remaja yang awalnya menghentikan mobil yang dikendarai oleh dua oknum anggota TNI di suatu malam terkait dengan pengamanan Natal pada Desember 2014.

Karena tak menerima perlakuan itu, mereka kembali mendatangi remaja itu dan akhirnya satu orang dipukuli. Warga yang marah akhirnya berkumpul di lapangan Karel Gobay untuk meminta pertanggungjawaban pada pagi harinya.

Namun, aparat gabungan TNI-Polri justru diduga melakukan penembakan sehingga mengakibatkan empat orang tewas. 

[Gambas:Youtube]

Pembangunan Infrastruktur

Masalahnya, tak ada pernyataan resmi lebih lanjut soal penanganan kasus pelanggaran HAM di Papua.

Penelusuran CNNIndonesia.com menemukan keterangan di Sekretariat Kabinet justru lebih dominan mengulas soal percepatan pembangunan infrastruktur di Papua. Mulai dari peresmian proyek kelistrikan oleh Jokowi hingga aksi menjajaki jalan Trans Papua.

Total alokasi Dana Transfer Papua dan Papua Barat memang mengalami peningkatan sejak 2014—2016. Masing-masing adalah Rp32,4 triliun dan Rp13,1 triliun; Rp36,9 triliun dan Rp14,8 triliun; serta Rp43,6 triliun dan Rp16,5 triliun. Ini terdiri dari Dana Alokasi Umum, Dana Alokasi Khusus, Dana Otonomi Khusus serta Dana Otonomi Khusus Infrastruktur.

Intinya, Jokowi ingin Papua lebih sejahtera dengan pembangunan infrastruktur.

Salah satu transkrip pengantar rapat Presiden misalnya, diunggah Sekretariat Kabinet pada 4 Desember 2015. Jokowi menyatakan pemerintah terus memberikan perhatian yang besar terhadap tanah Papua.

“Negara harus hadir,” kata Jokowi dalam Rapat Terbatas di Kantor Presiden, saat itu, “Baik melalui pembangunan infrastruktur jalan, jembatan, pelabuhan, kawasan industri, dan juga pembangunan pasar-pasar.”

[Gambas:Youtube]

Lainnya, Jokowi juga menekankan pemerintah yang berkomitmen mengembangkan kawasan industri baru dengan sokongan pembangunan infrastruktur transportasi.

Dalam pidato kenegaraannya pada 16 Agustus lalu, Presiden menyebutkan sejumlah contoh di antaranya adalah bandara perintis, pelabuhan, jalan paralel perbatasan hingga jalan lintas perbatasan—macam di Papua.

Namun, pendekatan pembangunan ala Jokowi dikritik Filep Karma pada pertengahan Agustus lalu.

Dia mengatakan tak semua orang menginginkan hal tersebut, karena pelbagai kasus kekerasan dan pelanggaran HAM di Papua justru tak selesai hingga hari ini—termasuk Wasior, Wamena dan Paniai.

Pria itu menegaskan janji Presiden saat merayakan Natal Bersama di Stadion Mandala, Jayapura pada Desember 2014 lalu pun tak kunjung dipenuhi.

Sosok Filep  mungkin tak jua berubah. Pribadinya hangat namun kritis dengan kekuasaan. "Makin banyak orang dibunuh," kata dia mengenang kembali janji Presiden hampir 3 tahun silam. "Pelanggaran HAM di Papua itu nyata."

Let's block ads! (Why?)

Baca Kelanjutan Filep Karma dan Janji Papua Jokowi yang Tra Terpenuhi : http://ift.tt/2gDyoCU

Bagikan Berita Ini

Related Posts :

0 Response to "Filep Karma dan Janji Papua Jokowi yang Tra Terpenuhi"

Post a Comment

Powered by Blogger.