Pohon kayu batu raksasa itu terletak di jantung hutan larangan Imbo Putui, Desa Petapahan, Kecamatan Tapung, Kampar-Riau. Pohon kayu batu itu menjadi satu dari puluhan tanaman yang mencuri perhatian pengunjung ketika melangkahkan kaki ke hutan adat yang berdiri dan terjaga ratusan tahun tersebut.
Udara hutan tropis menyeruak, terasa segar. Kicauan burung serta nyanyian satwa hutan bersahut-sahutan menjadi kesan pertama ketika pengunjung menjejakkan kaki di sana.
Halimun berair lembut menerpa wajah saat kaki melangkah, lebih jauh lebih dalam. Sebuah sambutan yang sangat layak usai menempuh perjalanan panjang dua jam dari Kota Pekanbaru.
Imbo Putui merupakan hutan adat yang terletak di Desa Petapahan, yang lokasinya diapit Sungai Tapung Kiri dan dikelilingi oleh Sungai Petapahan. Posisi desa ini berada di pertengahan Sungai Tapung Kiri yang bermuara di Sungai Jantan (Sungai Siak).
Menurut kepercayaan lokal, Petapahan berasal dari kata "pertapaan", atau tempat orang bertapa. Dahulu kala, lokasi ini dipercaya sebagai tempat tempat bertapa dari Muara Takus.
Petapahan sendiri merupakan salah satu desa tertua di antara desa lainnya di Kampar. Sebagai permukiman tua, tidak seorangpun yang mengetahui kapan desa ini mulai berdiri. Konon kabarnya desa ini telah berdiri jauh sebelum zaman Sriwijaya, atau pada abad ke-8.
Selama ratusan tahun pula, masyarakat Petapahan terus berupaya menjaga hutan adat nan terlarang itu. Dari generasi ke generasi, berpegang teguh pada aturan adat. Salah satu aturan adat yang terakhir adalah penerapan denda yang sangat berat apabila ada warga desa dengan sengaja menebang kayu, meski hanya rantingnya sekalipun.
"Siapapun yang berani mengambil kayu disini didenda dengan material semen. Untuk kayu berdiamater 5-20 cm, dendanya 200 zak semen, di atas ukuran itu 500 zak semen," kata tokoh adat Desa Petapahan, Abdul Cholil kepada Antara awal pekan ini.
Aturan super berat tersebut disetujui dan terus diterapkan masyarakat. Mereka bersama-sama menjaganya, meski ada beberapa kasus warga yang kedapatan melanggarnya. Dia mengatakan, masyarakat yang melanggar aturan itu biasanya pendatang.
Meski aturannya super ketat dan berat secara adat diterapkan, namun ada pengecualian. Kayu bisa diambil untuk keperluan tertentu. Misalnya pesta pernikahan.
Sementara itu, berdasarkan data World Research International (WRI), sebuah lembaga nirlaba khusus penelitian menyatakan hutan adat Imbo Putui merupakan kawasan hutan yang terletak pada ketinggian 500-1.000 meter di atas permukaan laut.
Didalam kawasan Hutan Larangan Adat seluas 250 hektare tersebut terdapat sumber mata air yang tidak berhenti keluar airnya walaupun musim kemarau. Sumber mata air ini berada di tengah kawasan hutan adat yang terletak di bawah pohon.
Kawasan ini memiliki keanekaragaman hayati yang sangat kaya. Terdapat Epifit lima jenis, empat jenis Liana, tujuh Terna, dan 37 jenis Pohon langka.
Epifit adalah tumbuhan yang menumpang pada tumbuhan lain sebagai tempat hidupnya.?Jenis epifit di hutan ini yaitu Lumut Tanduk (Anthoceros leavis), Tanduk Rusa (Auricularia auricula), Jamur Kayu, Jamur kuping (Platycerium bifurcatum), Benalu.
Liana pada pertumbuhannya memerlukan kaitan atau objek lain agar dapat bersaing mendapatkan cahaya matahari. Liana dapat pula dikatakan tumbuhan yang merambat, memanjat, atau menggantung. Liana yang terdapat di hutan ini yaitu Akar hisap, Akar Pembelit, Sirih hutan (Piper caducibrateum), Anggur hutan.
Terna merupakan tumbuhan yang memiliki ciri khas berbatang lunak dikarenakan tidak memiliki unsur kayu didalamnya. Terna juga dapat disebut herba dikarenakan tumbuhan jenis ini banyak dimanfaatkan untuk obat-obatan tradisional atau modern.
Jenis habitus terna yang ditemukan di Hutan Larangan Adat Imbo Putui yaitu Kantong Semar (Nepenthes ampulari), Pakis haji (Cycas rumphii), Rumput teki (Cyperus rotundus), Keladi neon, Pakis , Keladi, dan Daun seribu.
Jenis pohon yang didapat sebanyak 37 jenis dengan total individu yang ditemukan secara keseluruhan sebanyak 213 individu. Jenis pohon yang ada di Hutan Larangan Adat Imbo Putui yaitu Kompas (Kompasia mallensis), Trembesi (Samanea saman), Kulim (Scorodorocarpus borneensis), pasak bumi dan lainnya.
Selain itu juga kawasan ini memiliki keanekaragaman mamalia yang beragam, yaitu 16 jenis mamalia terdiri dari monyet ekor panjang (Macaca fascicularis), lutung (Trachypithecus auratus), siamang (Symphalangus syndacty), beruk (Macaca nemestrina), ungko (Hylobates agilis). Jenis-jenis mamalia besar seperti kijang (Munaticcus muntjok), kancil (Tragulusjovonicus) dan tapir (Tapirus indicus).
Selain itu, WRI juga mencatat keanekaragaman burung yang dapat ditemukan di kawasan hutan adat ini terdapat 36 jenis.
Menyongsong Pengakuan KLHK
Hutan adat Imbo Putui selanjutnya diusulkan untuk mendapat pengakuan dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), bersama tiga hutan adat lainnya yang juga berada di Kampar.
Dokumen usulan empat hutan adat dari empat kecamatan atau kenegerian di Kabupaten Kampar itu mencapai 5.000 hektare.
Dokumen hutan adat yang diserahkan tersebut meliputi Hutan adat Kenegarian Gajah Betalu, Batu Sanggan, Kenagarian Kuok dan Kenegarian Petapahan yang diserahkan langsung oleh ninik mamak dan kekhalifahan masing-masing daerah, medio September 2018.
Kabupaten Kampar akan menjadi kabupaten pertama di Provinsi Riau jika berhasil meyakinkan KLHK untuk menerbitkan SK hutan adat.
Manager Regional WRI Sumatera, Rahmad Hidayat mengatakan Kampar akan menjadi batu loncatan besar bagi Provinsi Riau dalam penetapan hutan adat yang kini terus digesa oleh pemerintah. Sementara di Sumatera, Riau bakal menjadi provinsi ketiga yang telah menetapkan hutan adat setelah Jambi dan Sumatera Selatan jika disetujui oleh KLHK.
"Ini akan menjadi terobosan besar apabila hutan adat di Kampar diakui oleh KLHK," kata Rahmad.
KLHK terus mendorong keberadaan hutan adat sebagai bagian dari upaya pencegahan perambahan dan tentu saja kebakaran. Bahkan, keberadaan hutan adat juga mulai diakui sebagai bagian dari pencegahan perubahan iklim.
WRI menyatakan potensi hutan adat yang menyebar di sejumlah kabupaten di Provinsi Riau mencapai 300.000 haktare, dan perlu didorong untuk mendapat pengakuan dari pemerintah.
Berdasarkan pemetaan WRI, wilayah yang mempunyai potensi hutan adat dengan melibatkan kearifan lokal yang terjaga ratusan tahun lamanya menyebar di wilayah Kabupaten Kampar, Kuantan Singingi, dan Indragiri Hulu.
Dia mengatakan dari ketiga kabupaten tersebut, Kampar merupakan wilayah terluas dengan potensi hutan adat yang diperkirakan mencapai 203.000 hektare. Menurut kajian WRI, keberadaan hutan dan masyarakat adat di Provinsi Riau erat kaitannya dengan kondisi geografis.*
Baca juga: WRI: potensi hutan adat Riau sampai 300 ribu hektare
Pewarta: Bayu Agustari Adha
Editor: Erafzon Saptiyulda AS
COPYRIGHT © ANTARA 2018
Bagikan Berita Ini
0 Response to "Hutan Adat Riau menunggu pengakuan"
Post a Comment