Persoalan itu pula yang masih dihadapi DKI Jakarta. Ribuan ton sampah harus ditangani setiap hari yang tentu saja membutuhkan waktu, biaya dan tenaga untuk menanganinya.
Ada dua sumber sampah yang harus ditangani DKI. Yakni sampah-sampah itu merupakan sisa aktivitas warganya dan sampah dari daerah lain.
Dilihat dari topograsinya, DKI berada di dataran landai dan rendah dibanding daerah selatan, yaitu Bogor (Jawa Barat). Dalam posisi geografis itu, ada 13 sungai yang mengalir di Jakarta.
Sungai-sungai itu selain mengalirkan air juga menjadi penyebab mengalirnya sampah. Kalau tidak percaya, lihat saja di pintu air Manggarai (Jakarta Selatan) baik di saat musim, terlebih musim hujan.
Pemandangan kesibukan petugas penjaga air bertambah, tidak saja mengamati debit ketinggian air di musim hujan seperti ini juga membersihkan sumbatan pintu air akibat sampah. Kesibukan pengangkutan sampah terlihat hampir setiap hari, terlebih saat ini.
Tidak jelas betul asal-muasal sampah ini. Apakah terbawa dari hulu dan permukiman sepanjang Daerah Aliran Sungai (DAS) Ciliwung sebelum memasuki wilayah Jakarta atau bersumber dari warga Jakarta sendiri?
Yang jelas aliran sampah ini menambah tekanan aliran Ciliwung. Tersendat sedikit saja aliran alir yang disertai sampah ini, Ciliwung meluap, apalagi kalau sampai tersumbat.
Begitu pelik penyelesaian banjir di Jakarta yang bukan hanya dialiri Ciluwung, tetapi juga anak-anaknya. Tercatat ada 13 sungai melintasi Jakarta yang alirannya di musim hujan disertai sampah.
Tak heran bisa sebagian orang paham jika musim hujan seperti ini, Jakarta bukan hanya banjir air tetapi juga ditandai meningkatnya sampah yang harus di atasi sesegera mungkin. Di sinilah kerja keras petugas terkait.
Sampah-sampah yang terbawa arus sungai saat hujan itu tentu saja menambah beban tugas Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. Ini karena dalam kondisi tidak hujan saja, DKI Jakarta diperkirakan mendapat pasokan sekitar 7.000 ton per hari.
Sampah sebanyak itu merupakan sisa dari seluruh kegiatan dan aktivitas warganya, perkantoran dan industri. Sejauh ini, untuk mengatasi sampah sebanyak itu, DKI masih sangat mengandalkan kemitraannya dengan Kota Bekasi untuk bisa mengirimkannya ke Tempat Pengolahan Sampah Terpadu (TPST) Bantargebang yang jauhnya sekitar 40 kilometer dari Monumen Nasional (Monas).
Dari kemitraan itu, DKI berkewajiban memberi kompensasi kepada Pemerintah Kota Bekasi. Kerja sama ini positif tetapi juga rawan terjadi ketegangan.
Daftar menunjukkan, di zaman Gubernur Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) pernah sesaat terjadi ketegangan antara DKI dengan Kota Bekasi. Truk-truk pengangkut sampah warna `orange` atau jingga pernah dihentikan dan dilarang memasuki Kota Bekasi.
Belum lama ini ketegangan juga muncul lagi. Masalah intinya adalah dana kompensasi atau `uang bau`. Namun masalah itu segera teratasi setelah Gubernur DKI Anies Baswedang dan Wali Kota Bekasi Rahmat Effendi bertemu. Ketegangan diakui keduanya karena `miskomunikasi` saja.
Anies kepada awak media di Balai Kota Jakarta mengemukakan, DKI sudah memenuhi kewajibannya terkait kemitraan itu. Untuk tahun 2018, DKI sudah melaksanakan kewajibannya memberikan dana hibah bagi Bantargebang sebesar Rp194 miliar. Sementara untuk 2019 akan dikucurkan sebesar Rp141 miliar.
Pengolahan Sampah
Entah karena rawannya kemitraan itu sehingga beberapa kali terjadi ketegangan atau alasan lain, DKI sedang mencoba mencari terobosan terkait penanganan sampah ini. DKI tampaknya sedang mencontoh Singapura dan Tokyo serta negara lain yang sukses dalam mengelola sampah kotanya.
Dalam kaitan ini, studi banding tentu sudah dilakukan. Bahkan mungkin beberapa kali. Begitu juga penelitian dan kajian mungkin juga sudah dilakukan untuk bisa mengelola sampahnya secara mandiri.
Dari serangkaian proses itu, maka Pemprov DKI sedang melakukan pembangunan Intermediate Treatment Facility (ITF) di Sunter untuk pengolahan sampah. Sebelum ITF dibangun, Pemprov DKI tidak memiliki lahan untuk mengelola sampah yang dihasilkan sekitar 7.000 ton per hari.
Pemerintah Jakarta menunjuk PT Jakarta Propertindo (Jakpro) selaku pemilik proyek teknologi fasilitas pengelolaan sampah ITF di Sunter dengan anggaran Rp3,8 triliun atau 250 juta dolar AS.
Rencana anggaran untuk ITF sebesar 250 juta dolar AS atau Rp3,8 triliun, ujar Corporate Secretary PT Jakpro, Hani Sumarno.
Lokasi pembangunan ITF Sunter merupakan Lokasi Stasiun Peralihan sebelum sampah dikirim ke Bantargebang, Bekasi, Jawa Barat, sejak tahun 2000.
Kepala Dinas Lingkungan Hidup DKI Jakarta Isnawa Adji menggambarkan tempat pengelolaan sampah berbasis teknologi pengelolaan sampah itu seperti pabrik sampah namun tidak memerlukan ruang yang besar seperti di Bantargebang.
Teknologi pengelolaan sampah ITF mendorong iklim yang sehat berorientasi ekonomi sirkulasi. Yang berarti sampah yang tidak dapat didaur ulang akan diproses di ITF Sunter sehingga menekan dampak negatif yang selama puluhan tahun terjadi akibat residu tidak dikelola.
Pembangunan ditargetkan akan selesai dalam tiga tahun dengan peletakan batu pertama pada Desember 2018. Ke depan, diharapkan bisa mengelola kapasitasnya 2.200 ton perhari.
Selain diarahkan untuk mampu mengelola sampah, ITF Sunter juga akan bisa menghasilkan listrik 35 megawatt dari pengolahan sampah sebanyak 2.200 ton perhari. Dengan demikian, nantinya persoalan sampah akan mulai bisa di atasi secara mandiri, sekaligus punya pasokan listrik.
Selain di Sunter, Pemprov DKI berencana membangun dua atau tiga faailitas ITF lainnya. Saat ini sedang dikaji pula pembangunan ITF di lokasi lain di Jakarta.
DKI berobsesi punya tiga atau empat ITF. Entah berapa jumlah yang nanti akan dibangun, tetapi yang pasti harus punya dan tidak mungkin cuma punya satu.
Singapura saja sudah punya lima ITF. Di dalam Kota Tokyo (Jepang) ada 23 ITF, walaupun kisarannya ada yang 200 ton dan ada pula yang hanya 500 ton perhari.
Negara dan kota-kota modern telah dicirikan dengan kemandirian dalam pengelolaan sampahnya. Jakarta yang terus berbenah tampaknya juga harus mau dan berani mencari terobosan untuk mengikuti jejak negara atau kota-kota modern.
Pabrik Sampah
Teknologi fasilitas pengelolaan sampah ITF dapat mengolah sampah hingga habis tanpa sisa. Nilai tambah lainnya adalah bisa menghasilkan energi listrik.
Kalau belum pernah studi banding ke negara lain yang sudah berhasil, tentu masih tidak bisa dibayangkan seperti apa cara kerjanya. Sulit pula menggambarkan karena teknologi seperti itu belum diterapkan secara massif di Indonesia.
Gambaran sederhananya adalah ITF itu semacam pusat pengolahan sampah ramah lingkungan. Bisa dibilang pabrik sampah, namun mampu menghabiskan sampah dengan menggunakan pembakaran suhu tinggi.
ITF berbeda dengan tempat pengolahan sampah di Bantargebang. ITF dinilai lebih efisien dan dapat menghasilkan energi listrik yang bermanfaat.
Jumlah ITF yang akan digunakan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta belum diketahui karena berdasarkan kapasitas sampah tiap harinya. Misalkan kapasitas sampah mencapai 1.500 ton per hari mungkin dibutuh empat ITF.
Sedangkan anggaran untuk ITF masih dalam pembahasan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Pihaknya mengaku banyak mendapatkan tawaran dari berbagai negara di Eropa dan Jepang untuk ITF dan masih butuh pertimbangan.
Secara umum untuk ukuran kota-kota di Indonesia, membangun pabrik sampah yang mampu menghasilkan energi listrik dengan biaya Rp3,8 triliun tentu teramat mahal. Jakarta mampu karena memang APBD-nya besar.
APBD Perubahan DKI untuk 2018 senilai Rp 83,26 triliun. APBD sebesar itu disahkan dalam rapat paripurna DPRD pada Kamis (27/9).
Sekali lagi, kalau melihat rancangan biaya pembangunan ITF yang Rp3,8 triliun itu, maka apakah daerah lain mampu?
Namun harus diingatkan bahwa angka Rp3,8 triliun itu untuk kapasitas 2.200 ton perhari. Padahal Tokyo punya ITF yang kapasitasnya 200-500 ton perhari atau berkisah 10-15 persen dari kapasitas yang dirancang DKI.
Dengan membangun ITF yang kapasitasnya lebih kecil, tentu biayanya juga lebih rendah. Yang perlu dipahami adalah sampah tanpa sisa dan adanya nilai tambah berupa pasokan energi listrik.
Anggaran
Di sinilah kemauan, kemampuan anggaran dan keberanian pemerintah provinsi, kota dan kabupaten lainnya untuk ikut menjajaki langkah DKI. Tanpa adanya kemauan dan keberanian untuk mencari terobosan seperti dilakukan kota-kota modern, masalahnya akan berkutat pada titik stagnan.
Namun sebelum semua proses pembangunan ITF itu tuntas, Ketua Komi si D DPRD DKI Jakarta Iman Satria meminta Pemprov DKI Jakarta menjaga komitmen yang baik dengan Pemerintah Kota Bekasi. Hal itu karena DKI masih meminjam lahan untuk tempat pembuangan sampah warga Jakarta.
Bagi pengamat kebijakan publik dari Universitas Indonesia (UI), Rissalwan Habdy Lubis membangun sarana pengelolahan sampah sendiri merupakan langkah tepat. Sebaiknya sampah itu dikelola di wilayah DKI Jakarta.
Hal itu mungkin saja dilakukan sebab ada teknologi yang mampu mengonversi segala macam sampah menjadi sumber energi listrik.
Bahkan, nantinya sumber energi listrik dapat dijual ke pihak yang membutuhkan, seperti ke Perusahaan Listrik Negara (PLN). Jakarta yang tidak pernah mengalami defisit listrik bisa memperoleh pendapatan dari penjualan energi listrik.
Artinya, biaya membangun ITF memang mahal, tetapi ada peluang untuk mengembalikan biaya itu melalui penjualan energi listrik yang dihasilkan dari bahan baku sampah.
Dia menggambarkan, ITF itu tidak membutuhkan banyak ruang seperti Bantargebang. Lokasi yang bisa dijadikan tempat pengelolaan sampah mungkin pulau reklamasi yang tengah disegel atau tempat lain di Jakarta.
Lokasi lainnya, misalnya, di jalur hijau tapi dikombinasikan untuk tempat pengelolaan sampah itu.*
Baca juga: DKI mengevaluasi kerja sama penanganan sampah dengan Bekasi
Baca juga: Pengolahan sampah Jakarta jadi energi diresmikan
Pewarta: Sri Muryono
Editor: Erafzon Saptiyulda AS
COPYRIGHT © ANTARA 2018
Bagikan Berita Ini
0 Response to "DKI rintis pengolahan sampah modern"
Post a Comment