Search

Kaum Terdidik dalam Pusaran Ideologi 'Anti-Pancasila'

Jakarta, CNN Indonesia -- “Dengan sepenuh jiwa, kami akan terus berjuang tanpa lelah untuk tegaknya Sya’riah Islam dalam naungan Negara Khilafah Islamiyah sebagai solusi tuntas problematika masyarakat Indonesia dan negeri-negeri Muslim lainnya.”

Demikian salah satu poin yang dideklarasikan ribuan mahasiswa Indonesia yang tergabung dalam Badan Koordinasi Lembaga Dakwah Kampus (BKLDK) di Kampus Institut Pertanian Bogor (IPB), Maret 2016 lalu.

Video deklarasi mahasiswa tersebut sempat menghebohkan dunia maya, sebab mahasiswa anggota lembaga ini kerap dikaitkan dengan Hizbut Tahrir Indonesia atau HTI.

HTI adalah organisasi transnasional yang secara gamblang menyatakan akan memperjuangkan pendirian negara berideologi politik Islam.

Belakangan, nasib HTI sebagai organisasi legal di Indonesia menemui ajalnya. Pada Rabu (19/7), pemerintah resmi mencabut badan hukum organisasi tersebut.

Direktur Jenderal Administrasi Hukum Umum (Dirjen AHU) Kemkumham, Freddy Harris menyatakan langkah itu merupakan tindak lanjut dari penerbitan Peraturan Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2017 tentang Organisasi Kemasyarakatan.

Meski dalam AD/ART mencantumkan Pancasila sebagai ideologi untuk badan hukum perkumpulannya, kata Freddy, kegiatan dan aktivitas HTI banyak yang bertentangan dengan Pancasila dan NKRI.

Video deklarasi Negara Khilafah oleh ribuan mahasiswa hanyalah satu dari sekian kegiatan HTI yang terindikasi bertentangan dengan Pancasila. Dalam praktiknya, HTI memang menjadikan mahasiswa atau kampus sebagai sasaran mereka.

Bukan tanpa alasan HTI menyasar kalangan terpelajar.

Sosiolog Universitas Gadjah Mada Arie Sudjito menyebut kalangan terpelajar ini sengaja dipilih untuk alasan strategi pengembangan organisasi sekaligus sosialisasi ajaran-ajaran yang diusung. 

“Fenomena ini lama berlangsung, termasuk jaringan di kampus, terutama dosen-dosen,” kata Arie ketika dihubungi CNNIndonesia.com, Minggu (23/7).

“Golongan menengah terpelajar inilah yang nanti dapat menyampaikan nilai-nilai tersebut ke masyarakat lain,” imbuhnya.

Sosiolog dari Universitas Indonesia Tamrin Tomagola bahkan menyebut kalangan terpelajar di kampus sengaja menjadi sasaran untuk mendukung proyek jangka panjang HTI, yakni menguasai dan memengaruhi generasi masa depan.

“Begitu mereka bisa menguasai mahasiswa kelas menengah di universitas seperti UI, ITB, dan IPB, itu (mereka) bisa menguasai generasi yang akan datang karena mereka sebenarnya sedang menanam benih ideologi Khilafah," kata Tamrin.

HTI memiliki cara cerdas untuk menyosialisasikan ideologi organisasi kepada kalangan terdidik. Dikatakan Arie, untuk kalangan terdidik ini HTI bisanya tak langsung merangkul lewat dakwah keagamaan, melainkan melalui kegiatan organisasi mahasiswa atau seminar.

Mereka memulainya dengan membungkus isu-isu strategis yang bersangkut paut dengan kepentingan orang banyak seperti isu pangan dan neoliberalisme.

"Baru kemudian mereka masuk pada pengenalan organisasi. Dari situlah mahasiswa kemudian tertarik,” ujar Arie.

Berkurangnya Nasionalisme

Arie menyatakan bahwa memudarnya rasa nasionalisme pada mahasiswa menjadi faktor utama mereka mudah dipengaruhi oleh paham yang bertentangan dengan Pancasila, baik yang diusung oleh HTI ataupun organisasi lain.

"Tak peduli setinggi apapun pendidikan si mahasiswa," ujar dia.

Hilangnya rasa kebangsaan tersebut, Arie memaparkan, disebabkan oleh efek globalisasi yang mengubah gaya hidup anak muda. Faktor lain adalah membengkaknya sentimen kelompok yang mengarah pada agama dan etnisitas, serta pendidikan.

Untuk menghalau serbuan paham-paham semacam khilafah seperti yang diusung HTI, Arie mengatakan dibutuhkan sebuah kesadaran dari mahasiswa dan dosen akan tanggung jawab untuk ikut membangun bangsa.

Kesadaran itu dapat dibangun dengan memberi ruang yang luas kepada dosen dan mahasiswa untuk berdiskusi terkait bagaimana memberikan kontribusi kepada masyarakat melalui ilmu yang mereka pelajari.

Arie mengkritik kalangan terdidik yang menganut prinsip belajar demi ilmu pengetahuan.

"Jadi jangan hanya belajar untuk pengetahuan, tapi juga pengetahuan untuk bangsa. Dosen Ilmu eksakta, Ilmu sosial, Ilmu humaniora dan sebagainya harus memahami bahwa pengetahuan yang ia kembangkan dapat berkontribusi untuk bangsa,” kata Arie.

Upaya menghalau gelombang pemikiran antiPancasila juga tak melulu bertumpu pada peranan kaum terdidik.

Di tengah arus globalisasi yang rentan menggerus rasa nasionalisme, Arie menyebut pemerintah sebenarnya bisa berharap dan mengandalkan peran masyarakat desa. 

Mereka dapat menjadi pilar memperkuat kembali nasionalisme lantaran belum terjangkit penyakit individualisme akut seperti diidap kalangan terdidik atau kelas menengah yang tinggal di kota-kota besar.

Nilai-nilai seperti gotong royong dan persaudaraan yang masih tertanam di pedesaan, menurut Arie, merupakan modal penting untuk mulai menumbuhkan lagi rasa kebangsaan.

“Justru orang kota yang hilang sensitivitasnya tentang nasionalisme. Tercermin dari ekspresi kegotongroyongan yang menurun dan individualisme,” ujarnya. (wis/sur)

Let's block ads! (Why?)

Baca Kelanjutan Kaum Terdidik dalam Pusaran Ideologi 'Anti-Pancasila' : http://ift.tt/2tseLz9

Bagikan Berita Ini

Related Posts :

0 Response to "Kaum Terdidik dalam Pusaran Ideologi 'Anti-Pancasila'"

Post a Comment

Powered by Blogger.