Menteri Pertahanan Ryamizard Ryacudu menyebut, Sukhoi SU-35 yang dibeli Indonesia dengan harga US$90 juta itu merupakan versi lengkap, dengan kemampuan untuk menembak dan mengebom.
Lantas, bagaimana jeroan dari burung besi tersebut. Pemerhati peralatan utama sistem persenjataan (alutsista) Haryo Adjie Nogo Seno mengatakan, jika ingin menengok jeroan apa yang dipasang akan bergantung pada hasil kontrak akhir.
Kontrak tersebut, kata Haryo, baru akan diteken hitam di atas putih dua bulan lagi di Moscow, Rusia. “Intinya belum ada yang tahu tentang detail karena kontrak final pun belum terjadi, paling merujuk ke spesifikasi standar,” kata Haryo kepada CNNIndonesia.com, Rabu (23/8).
Ia menjelaskan, Sukhoi memiliki beberapa plus minus. Pesawat itu memiliki daya angkut senjata (tonase dan jumlah) yang tergolong tinggi dengan 12 hard point. Sementara untuk mesin memiliki usia pakai yang lebih panjang.
“Mampu beroperasi dari landasan pendek berkat mesin yang dilengkapi TVC (thrust vectoring control), bahkan konfigurasi rodanya menjadikan Su-35 dapat dioperasikan dari landasan yang agak kasar,” bebernya.
Minusnya, Haryo Adjie menambahkan, Sukhoi hanya tersedia dalam varian kursi tunggal. Alhasil proses latih tempur atau konversi hanya bisa dilakukan di simulator.
“Atau bisa juga mengandalkan Su-30MK2 Flanker yang juga telah dimiliki TNI AU,” ujarnya.
Sementara untuk biaya operasional per jam terbilang paling tinggi. Bahkan, ada yang menyebut Sukhoi sebagai ‘ATM terbang.’
Mengutip informasi dari defence.pk, biaya operasional per jam (cost of flying per hours) Su-27/Su-30 mencapai US$7.000, sementara untuk Su-35 biaya operasi per jam bisa mencapai US$14.000. Sebagai perbandingan biaya operasional per jam F-16 hanya US$3.600.
Menteri Pertahanan Ryamizard Ryacudu menyebut pembelian Sukhoi dengan skema imbal beli sesuai praktik pelaksanaan Undang-undang Nomor 16 Tahun 2012 tentang Industri Pertahanan.
Pada pasal 43 ayat 5 huruf e UU tersebut menjelaskan, setiap pengadaan Alat Peralatan Pertahanan dan Keamanan (Alpalhankam) dari luar negeri wajib disertakan imbal beli, kandungan lokal dan offset minimal 85 persen di mana kandungan lokal dan atau offset paling rendah 35 persen.
"Ini baru pertama kali kami merasakan UU itu, sebelumnya belum terlaksana. Pelaksanaannya G to G langsung, tidak ada perantara macam-macam. Imbal dagang 50 persen, offset 35 persen, jadi total 85 persen. Ini juga membantu ekspor ke luar, jadi ada nilai tambah," kata Ryamizard di Gedung Kementerian Pertahanan, kemarin (22/8).
Indonesia, kata Ryamizard, akan berpikir dua kali dalam pengadaan alutsista jika tidak dilakukan dengan sistem imbal beli.
Mekanisme imbal beli itu akan dilakukan dengan melibatkan pemerintah kedua negara atau government to government (G to G), guna memastikan tidak ada pihak ketiga yang ikut terlibat dalam pengadaan alutsista.
"Yang penting kalau beli kan G to G, enggak boleh rekanan-rekanan menentukan. Memang siapa, duitnya duit Kemhan kok," ucapnya. </span> (gil)
Baca Kelanjutan Mengintip Jeroan Sukhoi SU-35 : http://ift.tt/2v4RQyDBagikan Berita Ini
0 Response to "Mengintip Jeroan Sukhoi SU-35"
Post a Comment