Ketua Bidang Pemenuhan Hak Anak LPAI, Reza Indragiri Amriel kepada CNNIndonesia.com, Senin (11/9), menjelaskan, Pemerintah perlu meningkatkan kesiapan rumah sakit dalam melayani pasien kanak-kanak.
“Dari sisi medis, bayi membutuhkan penanganan ekstra. Bayi bukan miniatur orang dewasa. Menginsafi posisi anak-anak yang sedemikian istimewa, termasuk problem kesehatan mereka,” katanya.
Belajar dari kejadian Bayi Debora, sarana berupa pediatric intensive care unit (PICU) misalnya, ia menambahkan, menjadi sesuatu yang sangat krusial. LPAI memahami pengadaan PICU bukan hal ringan.
PICU membutuhkan SDM yang mumpuni, termasuk tersedianya dokter-dokter anak dengan spesifikasi perinatologi dan intensive care.
“Betapa pun tak mudah, demi kesehatan anak-anak Indonesia, Pemerintah --didukung dunia usaha-- tetap harus mengagendakan pengadaan sarana tersebut,” katanya menyarakan.
“Ini menjadi bahan evaluasi tentang seberapa jauh sentra-sentra kesehatan terdekat, semisal puskesmas, berada dalam jarak jangkauan masyarakat dan seberapa positif sikap masyarakat atas sentra-sentra terdepan dalam pemeriksaan kesehatan publik tersebut,” katanya menjelaskan.
Pasien apalagi bayi, ia mengungkapkan, perlu penanganan maksimal. Hal tersebut tidak bisa ditawar-tawar. Pada sisi yang sama, rumah sakit juga memerlukan penguatan agar bisa terus menangani pasien-pasien lainnya.
“Apalagi, sebagaimana kritik banyak pengamat, sistem BPJS itu sendiri bisa membuat rumah sakit menghadapi persoalan finansial serius. Rumah sakit yang terbelit ekses BPJS pada gilirannya tidak akan mampu memberikan layanan optimal kepada masyarakat,” katanya mengungkapkan.
Reza menambahkan, evaluasi menyeluruh atas kejadian yang dialami bayi Debora dibutuhkan agar pihak rumah sakit bisa terus meningkatkan kapasitasnya. Sebaliknya, pandangan apriori bisa berakibat kontraproduktif.
LPAI menilai penganan medis terhadap bayi memerlukan upaya ekstra. (CNN Indonesia/Yohannie Linggasari)
|
Selain itu, anak-anak DKI butuh sarana layanan kesehatan sebanyak dan seberkualitas mungkin. Sikap apriori terhadap rumah sakit, dalam situasi ekstrem, justru bisa mengakibatkan hilangnya satu sarana tersebut.
“Ketika satu sarana layanan kesehatan hilang, berapa banyak pasien yang tak terlayani? Ketika rumah sakit dibekukan, berapa panjang antrean yang akan mengular di rumah sakit lain? Di atas itu semua, siapa pihak yang paling dirugikan? Tak lain, anak-anak DKI juga,” katanya menegaskan.
Kisah Debora, bayi berusia empat bulan itu dimulai sejak ia meninggal pada Minggu (3/9) pekan lalu. Sebelumnya, Debora mengalami batuk berdahak dan sesak nafas.
Orang tuanya, Henny Silalahi dan Rudianto Simanjorang membawa Debora ke RS Mitra Keluarga, Kalideres, Jakarta Barat. Debora tiba di instalasi gawat darurat (IGD) RS tersebut, namun kondisinya yang memburuk Debora dinyatakan harus segera dibawa ke ruang pediatric intensive care unit (PICU).
Diketahui untuk bisa masuk ke ruang tersebut, uang muka Rp19,8 juta harus disediakan. Kartu BPJS Kesehatan yang dimiliki tak bisa digunakan karena rumah sakit swasta itu tak punya kerja sama.
Orang tua Debora kemudian berusaha mencari rumah sakit yang bekerja sama dengan BPJS agar anaknya bisa dirawat ke ruang PICU. Namun ruangan yang dinilai bisa menyelematkan nyawa anaknya itu tak kunjung didapatkan. Sekitar 6 jam di IGD, Debora tak bisa diselamatkan. Ia dinyatakan meninggal sekitar pukul 10.00 WIB.
Dalam laman resminya, RS Mitra Keluarga Kalideres memberi klarifikasinya, bahwa orang tua Debora keberatan dengan biaya uang muka ICU sebesar Rp19,8 juta. Rumah sakit juga sudah berupaya membantu mencari rumah sakit yang punya fasilitas untuk peserta BPJS.
Bagikan Berita Ini
0 Response to "âBayi Debora Bukan Miniatur Dewasa, Butuh Penanganan Ekstra'"
Post a Comment