Di tengah berbagai tantangan yang dihadapi, tahun 2017 perekonomian Sulut mencatat kinerja yang positif. Hal tersebut juga ditandai dengan berhasilnya daerah ini menjadi provinsi dengan angka inflasi terendah di Sulawesi secara tahunan.
Kepala BI Perwakilan Sulut Soekowardojo menjelaskan tercatat inflasi Sulut pada 2017 sebesar 2,44 persen (yoy), lebih rendah dari inflasi nasional yang tercatat sebesar 3,61 persen (yoy).
Hal itu tentunya merupakan buah dari kerja sama dan koordinasi yang solid antara Bank Indonesia dengan Pemerintah Daerah (pemda) di Provinsi Sulawesi Utara dan Pemda Kabupaten/Kota, termasuk PemKab Minahasa.
Dia mengatakan pertumbuhan ekonomi Sulut hingga Triwulan III 2018 belum mampu mengejar pertumbuhan tahun 2017.
Sementara itu, katanya, dalam lima bulan pertama perekonomian Sulut menghadapi tekanan inflasi. Laju inflasi selanjutnya menurun bahkan deflasi pada pertengahan tahun 2018, namun pada Oktober 2018 Sulut kembali mencatat inflasi sebesar 0.08 persen (mtm) setelah dalam tiga bulan berturut-turut mencatat deflasi. Adapun inflasi tahunan Sulut sebesar 1,59 persen (yoy).
Tekanan inflasi pada Oktober terutama disebabkan oleh inflasi pada kelompok bahan makanan yang terutama didorong oleh kenaikan harga komoditas tomat sayur.
Ia menjelaskannya pada kegiatan Peresmian Program Sosial Bank Indonesia (PSBI) Rumah Pengering Bawang Merah (in house drying), beserta fasilitas pendukungnya.
Salah satu perwujudan kerja sama erat antara Bank Indonesia Kantor Perwakilan Provinsi Sulawesi Utara dengan Pemerintah Daerah Kabupaten Minahasa dan Dinas terkait serta pemangku kepentingan lainnya dalam kerangka pengembangan ekonomi daerah dan menjaga stabilitas harga khususnya untuk komoditas volatile foods atau harga bahan pangan yang bergejolak.
Pihaknya juga mengapresiasi dukungan erat dan kerjasama yang baik serta kepedulian tinggi Pemda Kabupaten Minahasa terhadap sektor Pertanian, penyumbang Produk Domestik Regional Brutto (PDRB) terbesar di Sulawesi Utara, khususnya melalui kegiatan Minahasa Menanam, yang sangat relevan dengan pelaksanaan tugas Bank Indonesia dalam pengendalian inflasi bahan pangan.
Soekowardojo menjelaskan dalam melaksanakan tugas menjaga inflasi tetap terkendali, Bank Indonesia terus menyempurnakan instrumen atau alat untuk pengendalian inflasi.
Fokus upaya dilakukan dengan menjaga ketahanan pangan, khususnya volatile food mengingat secara historis, komoditas volatile food (khususnya Barito) merupakan penyumbang utama inflasi.
Tekanan pergerakan harga pada kelompok volatile food lebih dipicu oleh supply shocks (kendala pasokan) yang juga terkait erat dengan perkembangan musim.
Mempertimbangkan karakter pergerakan harga komoditas penyumbang inflasi Sulut tersebut, katanya, Bank Indonesia telah menginisiasi beberapa program yang ditujukan untuk mendukung pengendalian inflasi.
Salah satunya adalah dalam rangka mengontrol inflasi yang bersumber dari volatile food, Bank Indonesia memiliki dan menjalankan Program Pengendalian Inflasi guna menjaga ketahanan pangan melalui pengembangan komoditas tertentu dalam bentuk klaster.
Berbagai kegiatan yang dilakukan Bank Indonesia dalam mengembangkan klaster meliputi fasilitasi dan bantuan teknis, serta inisiatif terobosan dan percontohan yang dapat mendorong peningkatan produktivitas komoditas penyumbang inflasi.
Inisiatif dan upaya yang dilakukan Bank Indonesia meliputi antara lain penyediaan benih dan pupuk sampai dengan akses pemasaran hasil panen dengan pengayaan berupa penyediaan informasi harga serta digitalisasi dan elektronifikasi untuk transaksi pada setiap rantai nilai.
Bank Indonesia juga memberikan berbagai pelatihan dan fasilitasi yang dapat mendorong pengembangan komoditas oleh kelompok petani maupun peningkatan kapasitas anggota kelompok, seperti teknik pengembangan komoditas yang telah terstandarisasi, pelatihan keuangan, dan fasilitasi akses permodalan.
Penguatan peran klaster, katanya, diharapkan akan mampu mendukung ketersediaan pasokan komoditas di daerah. Dengan adanya peningkatan pasokan, kestabilan harga komoditas tersebut akan terjaga sehingga pada jangka panjang diharapkan sumbangan inflasi dari komoditas volatile food dapat lebih terkendali.
Dalam empat tahun terakhir, KPw Bank Indonesia Provinsi Sulut telah turut mengambil bagian dalam mendukung program ketahanan pangan di Sulut.
Salah satu bentuk kerja sama yang telah terjalin yaitu dengan telah ditandatanganinya MoU dengan Pemkab Minahasa pada tahun 2014 terkait pengembangan klaster ketahanan pangan komoditas cabai rawit Minahasa yang telah memasuki tahap penyapihan (phasing out) pada tahun 2017.
Selain komoditas cabai, katanya, Bank Indonesia bersama Pemda Minahasa juga telah melakukan kerja sama dalam pembentukan klaster ketahanan pangan untuk komoditas bawang merah pada tahun 2017 dan tomat sayur pada tahun 2018 yang juga cukup sering menjadi komoditas pemicu inflasi di Sulut.
Dalam mendorong pengembangan klaster-klaster tersebut, Bank Indonesia KPw Provinsi Sulut telah melakukan penelitian, pelatihan/bantuan teknis peningkatan SDM, bantuan teknis alat penguatan ketahanan pangan serta memfasilitasi beberapa kegiatan dalam rangka peningkatan produktivitas dan produk olahan serta fasilitasi dalam rangka peningkatan akses kepada sumber pembiayaan.
Disamping itu, katanya, untuk klaster cabai rawit telah terbangun mekanisme pemasaran antara klaster cabai rawit Minahasa dengan pasar lelang komoditas yang bekerja sama dengan Disperindag dan pasar modern Multimart dan Freshmart.
Klaster Bawang
Deputi BI Sulut M H A Ridhwan mengatakan pada tahun 2018 ini, BI melakukan program upaya mendorong peningkatan produktivitas klaster bawang merah binaan melalui program penanganan bawang pascapanen.
Program tersebut direalisasikan melalui pemberian bantuan berupa Rumah Pengering Bawang Merah (in house drying) dengan ukuran 7m x 10m yang mampu mengeringkan sekitar 6 ton bawang merah.
Keberadaan rumah pengering bawang ini diharapkan akan membantu petani dalam melakukan pengolahan pasca panen melalui percepatan penurunan kadar air dalam bawang merah, sehingga kualitas panen akan meningkat.
Pengeringan secara tradisional membutuhkan waktu sekitar 5-7 hari untuk 500 kg bawang merah, sementara dengan rumah pengering ini, petani dapat menghemat waktu menjadi 1-2 hari untuk proses pengeringan bawang merah tersebut.
Tentunya hal tersebut akan mendorong peningkatan produktivitas bagi petani dan memberikan nilai tambah atas hasil produksinya.
Tidak berhenti hingga disitu, katanya, selain program ini, pihaknya juga akan memfasilitasi kelompok tani untuk naik kelas dan membentuk Badan Usaha Milik Petani (BUMP) di kemudian hari apabila petani sudah siap.
Dengan adanya Badan Usaha Milik Petani tersebut akan dapat memotong mata rantai panjang antara petani ke konsumen, sehingga disparitas harga produksi tidak tidak terlalu tinggi dan kestabilan harga pada akhirnya dapat terjaga. Untuk merealisasikan hal tersebut, tentunya diperlukan dukungan dan kerjasama erat dengan Pemda Minahasa, Dinas dan Pihak Terkait lainnya.
"Semoga bantuan PSBI 2018 dalam bentuk Rumah Pengering Bawang Merah (in house drying) untuk klaster petani bawang merah Minahasa yang akan kami resmikan bersama dengan Bupati Minahasa atau yang mewakili, dapat bermanfaat bagi petani bawang merah Minahasa," katanya.
Dia juga mengharapkan agar prasarana ini dapat dimanfaatkan, dikelola dan dirawat dengan baik sehingga dapat dimanfaatkan selama mungkin guna menunjang produktivitas dan kualitas bawang merah Minahasa.
BI juga menyampaikan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Bupati Minahasa yang telah berkenan hadir untuk bersama-sama dengan BI meresmikan PSBI untuk Klaster Bawang Minahasa tahun 2018.*
Baca juga: BI perkirakan pertumbuhan kuartal IV tidak jauh dari 5,17 persen
Baca juga: Jaga stabilitas moneter, BI-Bank Sentral Singapura tandatangani perjanjian keuangan
Pewarta: Jerusalem Mendalora dan dan Nancy Lynda Tigauw
Editor: Erafzon Saptiyulda AS
COPYRIGHT © ANTARA 2018
Bagikan Berita Ini
0 Response to "Upaya BI kendalikan inflasi melalui klaster produksi"
Post a Comment