Search

Guru Agama dan Toleransi Superfisial di Sekolah

Jakarta, CNN Indonesia -- Guru Pendidikan Agama Islam (PAI) dinilai tetap mendukung Indonesia berdasar Pancasila dan Undang-undang Dasar 194, namun juga ditengarai punya aspirasi kuat pada penerapan syariat Islam dan menolak kepemimpinan non-muslim.

Hal ini jadi salah satu temuan Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah (PPIM UIN) dalam penelitian terhadap guru PAI di sekolah negeri.

Dalam penelitian yang dilakukan Oktober 2016 tersebut, 78 persen setuju jika pemerintah berdasarkan syariat Islam dan 80 persen lebih responden menolak jika kepala sekolah, kepala dinas, atau kepala daerah dipimpin non-muslim. Namun, 82 persen menyatakan dukungan pada Pancasila dan UUD 1945 dan menganggapnya sama dengan syariat Islam.

Namun, salah satu simpulan penelitian lainnya adalah toleransi antar-umat beragama dianggap superfisial dan belum pada kerja sama aktif.

Didin Syafruddin, salah satu peneliti PPIM UIN, mengatakan latar belakang penelitian tersebut adalah untuk melihat tentang pandangan dan sikap seorang guru PAI yang mengajar di sekolah negeri.

Penelitian tersebut dilakukan di lima daerah, yaitu Aceh, Jawa Barat, Jawa Tengah, Nusa Tenggara Barat, dan Sulawesi Selatan. Penelitian melibatkan kurang lebih 500 guru yang disurvei dan wawancara mendalam.

"Daerah-daerah itu yang kami duga berdasarkan studi sebelumnya, sebagai kantong-kantong Islam yang besar," kata Didin kepada CNNIndonesia.com, beberapa waktu lalu.

Ilustrasi siswa. Penelitian PPIM UIN menemukan bahwa pengaruh guru untuk siswa di tingkat SMP dan SD sangat kuat. Ilustrasi siswa. Penelitian PPIM UIN menemukan bahwa pengaruh guru untuk siswa di tingkat SMP dan SD sangat kuat. (CNN Indonesia/Safir Makki)
Didin menyebut pemahaman dan perilaku guru itu penting karena bisa berpengaruh pada siswa, terutama di tingkat Sekolah Dasar (SD) dan Sekolah Menengah Pertama (SMP).

"Di SD sampai SMP itu guru kan masih jadi teladan, jadi (siswa) mempelajari sesuatu dengan melihat sesuatu. Kalau guru juga bergaul dengan siswa lain yang berbeda agama, maka siswa tentu juga akan mengikutinya," ujar Didin.

Hal tersebut, lanjut Didin, berbeda dengan siswa SMA, ketika pengaruh seorang guru sudah tidak terlalu besar. Yang memiliki pengaruh besar justru teman-teman di lingkungan pertemanan. Namun, Didin menilai guru SMA juga tetap harus punya kepedulian terhadap siswa sehingga bisa melakukan kontrol terhadap lingkungan pertemanan siswa tersebut.

"Kalau guru tidak peduli, tidak punya pemahaman agama yang baik, kurang bisa merespons kegiatan keagamaan yang dilakukan oleh siswa di luar sekolah, itu akan bahaya. Kegiatan di luar kelas itu kan kerap kali dibina oleh senior atau orang dari luar itu bisa menjadi pintu masuknya pemahaman yang salah," kata Didin

“Guru memang bukan faktor penting radikalisme, ada faktor lain, tapi kalau guru tidak peduli maka paham-paham liar akan masuk dengan mudah," tambahnya.

Persoalan Guru Agama di Indonesia

Peneliti PPIM UIN lain, Saiful Umam, menyebut masalah-masalah itu dampak dari ketidakjelasan sistem di pemerintah. Guru agama, lanjut Saiful, sebenarnya berada di bawah pembinaan Kementerian Agama, tapi pengangkatan guru oleh pemerintah daerah setempat. Sebagai catatan, sejak diterapkannya Kurikulum 2013, pembinaan guru PAI juga menjadi urusan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.

"Guru agama ini kan domain Kemenag, tapi yang mengangkat pemda. Kemenag juga sepertinya tidak punya kapasitas besar untuk mengontrol guru," ucap Saiful.

Guru, lanjut Saiful, seharusnya juga selalu mendapat pembinaan untuk bisa terus memperbarui ilmu atau pemahamanan, namun kerap kali dilupakan, sehingga hanya guru-guru pelajaran tertentu saja yang mendapatkan pembinaan.

"Namanya guru mestinya juga ada program untuk update ilmu, tapi hampir guru agama tidak tersentuh. Sementara guru lainnya misal IPA atau IPS itu rutin. Guru agama hampir tidak mendapatkan karena persoalan manajemen yang ambigu, jadi seperti second class citizen," ujarnya.

Ilustrasi siswa. Menteri Agama sempat meminta agar rohis di sekolah diawasi oleh pihak sekolah. Ilustrasi siswa. Menteri Agama sempat meminta agar rohis di sekolah diawasi oleh pihak sekolah. (CNN Indonesia/Safir Makki)
Saiful menyebut pendidikan agama di sekolah seharusnya juga berperan dalam memberikan wawasan kebangsaan.

"Pendidikan agama itu harus bisa memperkuat pendidikan kebangsaan. Jadi dalam sebuah sistem pendidikan umum yang dibiayai negara, itu juga harus menopang tujuan dari negara ini, bahwa negara ini tidak hanya menjadikan seseorang menjadi taat beragama satu agama tertentu, tapi juga harus menjaga kebangsaan. Apalagi sekolah umum kan tidak bisa dibatasi hanya menerima satu jenis agama saja," ujar Saiful.

Dari penelitian PPIM UIN, Saiful menemukan guru PAI di sekolah negeri sering kali hanya fokus untuk mengajarkan agama yang sesuai dengan agamanya dan pemahaman agama yang dimiliknya.

Guru PAI, lanjut Saiful, kerap melupakan tugas untuk mendorong siswanya agar memiliki kesadaran bahwa ada siswa lain yang berbeda agama dengannya.

Peneliti PPIM UIN lainnya, Dadi Darmadi, mengatakan pendidikan agama Islam sebenarnya memiliki dua tujuan, yaitu civic mission dan religious mission, sehingga siswa tidak hanya memiliki pemahaman tentang agama tapi juga bisa menjadi warga negara yang baik.

Sementara menurut Didin, sebenarnya ada dua konsep dalam pendidikan agama, yaitu religious education dan religious instruction.

"Education beda, karena education asumsinya pelajaran agama bukan hanya dari salah satu unsur agama tapi dari berbagai agama dan mungkin bisa jadi yang mengajarkan bukan harus dari orang agama tertentu. Nah di sini kan sampai sekarang masih mensyarakatkan seorang guru agama harus mengajarkan agama yang sesuai dengan agamanya, itu lebih mengarahkan pada instruksi agama," ujar Didin.

"Confessional religious education, pendidikan agama tujuannya untuk meningkatkan iman, di kita (Indonesia) modelnya begitu," imbuhnya.

Ilustrasi siswa sekolah dan guru. Penelitian PPIM UIN menyebutkan guru kerap melupakan tugas untuk mendorong siswa agar memiliki kesadaran pada siswa berbeda agama. Ilustrasi siswa sekolah dan guru. Penelitian PPIM UIN menyebutkan guru kerap melupakan tugas untuk mendorong siswa agar memiliki kesadaran pada siswa berbeda agama. (ANTARA FOTO/Rivan Awal Lingga)

Toleransi di Atas Kertas

Dadi juga menyebut, selama ini toleransi yang ada di Indonesia, termasuk yang ada di sekolah, hanya ada di permukaan saja.

"Toleransi di Indonesia, termasuk sekolah itu toleransi di atas kertas, toleransi yang sifatnya superfisial. Sejauh tidak saling menganggu tidak masalah," ujar Dadi.

Dadi menjelaskan, ada sebuah asumsi bahwa semakin sering pelajaran agama, maka akan semakin menumbuhkan sikap toleransi. Namun, menurutnya, kenyataannya yang terjadi justru berbeda.

"Kenyataannya kan belum tentu. Semakin banyak negara melakukan investasi terhadap pendidikan agama, tapi pertanyaannya apakah betul toleransi yang muncul? Kan kenyataannya lain," ujar Dadi.

Dari hasil penelitian PPIM UIN, lanjut Dadi juga ditemukan ada guru yang tidak pernah mengucapkan selamat hari raya agama lain.

"Dalam penelitian itu kami temukan ada guru-guru agama yang tidak pernah mengucapkan selamat hari raya agama lain, ada pula yang tidak pernah hadir dalam pesta perayaan hari besar agama lain," ungkapnya.

(vws)

Let's block ads! (Why?)

Baca Kelanjutan Guru Agama dan Toleransi Superfisial di Sekolah : http://ift.tt/2gTIvTM

Bagikan Berita Ini

Related Posts :

0 Response to "Guru Agama dan Toleransi Superfisial di Sekolah"

Post a Comment

Powered by Blogger.