Hal ini jadi salah satu temuan Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah (PPIM UIN) dalam penelitian terhadap guru PAI di sekolah negeri.
Dalam penelitian yang dilakukan Oktober 2016 tersebut, 78 persen setuju jika pemerintah berdasarkan syariat Islam dan 80 persen lebih responden menolak jika kepala sekolah, kepala dinas, atau kepala daerah dipimpin non-muslim. Namun, 82 persen menyatakan dukungan pada Pancasila dan UUD 1945 dan menganggapnya sama dengan syariat Islam.
Namun, salah satu simpulan penelitian lainnya adalah toleransi antar-umat beragama dianggap superfisial dan belum pada kerja sama aktif.
Didin Syafruddin, salah satu peneliti PPIM UIN, mengatakan latar belakang penelitian tersebut adalah untuk melihat tentang pandangan dan sikap seorang guru PAI yang mengajar di sekolah negeri.
Penelitian tersebut dilakukan di lima daerah, yaitu Aceh, Jawa Barat, Jawa Tengah, Nusa Tenggara Barat, dan Sulawesi Selatan. Penelitian melibatkan kurang lebih 500 guru yang disurvei dan wawancara mendalam.
"Daerah-daerah itu yang kami duga berdasarkan studi sebelumnya, sebagai kantong-kantong Islam yang besar," kata Didin kepada CNNIndonesia.com, beberapa waktu lalu.
|
"Di SD sampai SMP itu guru kan masih jadi teladan, jadi (siswa) mempelajari sesuatu dengan melihat sesuatu. Kalau guru juga bergaul dengan siswa lain yang berbeda agama, maka siswa tentu juga akan mengikutinya," ujar Didin.
Hal tersebut, lanjut Didin, berbeda dengan siswa SMA, ketika pengaruh seorang guru sudah tidak terlalu besar. Yang memiliki pengaruh besar justru teman-teman di lingkungan pertemanan. Namun, Didin menilai guru SMA juga tetap harus punya kepedulian terhadap siswa sehingga bisa melakukan kontrol terhadap lingkungan pertemanan siswa tersebut.
"Kalau guru tidak peduli, tidak punya pemahaman agama yang baik, kurang bisa merespons kegiatan keagamaan yang dilakukan oleh siswa di luar sekolah, itu akan bahaya. Kegiatan di luar kelas itu kan kerap kali dibina oleh senior atau orang dari luar itu bisa menjadi pintu masuknya pemahaman yang salah," kata Didin
“Guru memang bukan faktor penting radikalisme, ada faktor lain, tapi kalau guru tidak peduli maka paham-paham liar akan masuk dengan mudah," tambahnya.
Persoalan Guru Agama di Indonesia
Peneliti PPIM UIN lain, Saiful Umam, menyebut masalah-masalah itu dampak dari ketidakjelasan sistem di pemerintah. Guru agama, lanjut Saiful, sebenarnya berada di bawah pembinaan Kementerian Agama, tapi pengangkatan guru oleh pemerintah daerah setempat. Sebagai catatan, sejak diterapkannya Kurikulum 2013, pembinaan guru PAI juga menjadi urusan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.
"Guru agama ini kan domain Kemenag, tapi yang mengangkat pemda. Kemenag juga sepertinya tidak punya kapasitas besar untuk mengontrol guru," ucap Saiful.
Guru, lanjut Saiful, seharusnya juga selalu mendapat pembinaan untuk bisa terus memperbarui ilmu atau pemahamanan, namun kerap kali dilupakan, sehingga hanya guru-guru pelajaran tertentu saja yang mendapatkan pembinaan.
"Namanya guru mestinya juga ada program untuk update ilmu, tapi hampir guru agama tidak tersentuh. Sementara guru lainnya misal IPA atau IPS itu rutin. Guru agama hampir tidak mendapatkan karena persoalan manajemen yang ambigu, jadi seperti second class citizen," ujarnya.
|
"Pendidikan agama itu harus bisa memperkuat pendidikan kebangsaan. Jadi dalam sebuah sistem pendidikan umum yang dibiayai negara, itu juga harus menopang tujuan dari negara ini, bahwa negara ini tidak hanya menjadikan seseorang menjadi taat beragama satu agama tertentu, tapi juga harus menjaga kebangsaan. Apalagi sekolah umum kan tidak bisa dibatasi hanya menerima satu jenis agama saja," ujar Saiful.
Dari penelitian PPIM UIN, Saiful menemukan guru PAI di sekolah negeri sering kali hanya fokus untuk mengajarkan agama yang sesuai dengan agamanya dan pemahaman agama yang dimiliknya.
Guru PAI, lanjut Saiful, kerap melupakan tugas untuk mendorong siswanya agar memiliki kesadaran bahwa ada siswa lain yang berbeda agama dengannya.
Peneliti PPIM UIN lainnya, Dadi Darmadi, mengatakan pendidikan agama Islam sebenarnya memiliki dua tujuan, yaitu civic mission dan religious mission, sehingga siswa tidak hanya memiliki pemahaman tentang agama tapi juga bisa menjadi warga negara yang baik.
Sementara menurut Didin, sebenarnya ada dua konsep dalam pendidikan agama, yaitu religious education dan religious instruction.
"Education beda, karena education asumsinya pelajaran agama bukan hanya dari salah satu unsur agama tapi dari berbagai agama dan mungkin bisa jadi yang mengajarkan bukan harus dari orang agama tertentu. Nah di sini kan sampai sekarang masih mensyarakatkan seorang guru agama harus mengajarkan agama yang sesuai dengan agamanya, itu lebih mengarahkan pada instruksi agama," ujar Didin.
"Confessional religious education, pendidikan agama tujuannya untuk meningkatkan iman, di kita (Indonesia) modelnya begitu," imbuhnya.
|
Toleransi di Atas Kertas
Dadi juga menyebut, selama ini toleransi yang ada di Indonesia, termasuk yang ada di sekolah, hanya ada di permukaan saja.
"Toleransi di Indonesia, termasuk sekolah itu toleransi di atas kertas, toleransi yang sifatnya superfisial. Sejauh tidak saling menganggu tidak masalah," ujar Dadi.
Dadi menjelaskan, ada sebuah asumsi bahwa semakin sering pelajaran agama, maka akan semakin menumbuhkan sikap toleransi. Namun, menurutnya, kenyataannya yang terjadi justru berbeda.
"Kenyataannya kan belum tentu. Semakin banyak negara melakukan investasi terhadap pendidikan agama, tapi pertanyaannya apakah betul toleransi yang muncul? Kan kenyataannya lain," ujar Dadi.
Dari hasil penelitian PPIM UIN, lanjut Dadi juga ditemukan ada guru yang tidak pernah mengucapkan selamat hari raya agama lain.
"Dalam penelitian itu kami temukan ada guru-guru agama yang tidak pernah mengucapkan selamat hari raya agama lain, ada pula yang tidak pernah hadir dalam pesta perayaan hari besar agama lain," ungkapnya.
(vws)
Baca Kelanjutan Guru Agama dan Toleransi Superfisial di Sekolah : http://ift.tt/2gTIvTMBagikan Berita Ini
0 Response to "Guru Agama dan Toleransi Superfisial di Sekolah"
Post a Comment