Bandung dipilih menjadi tempat penyelanggaraan karena ditempati banyak kelompok kreatif.
Acara itu akan dihadiri dan dibuka oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi) di Gedung Sate. Usai pembukaan, Jokowi akan memimpin karnaval dengan Kereta Pancasila sampai Taman Vanda di dekat Balai Kota.
Bertema 'Nyalakan Api Semangat Kerja Bersama', karnaval akan diikuti peserta dari Jember Fashion Carnaval, Solo Batik Carnival, Tomohon International Flower Festival dan perwakilan 12 provinsi.
Bahkan juga akan ada penampilan dari 12 masyarakat adat Jawa Barat tanah Pasundan.
"Intinya, karena acara penutupan kita berharap ini acara meriah. Pesan jelas sangat terlihat di berbagai kegiatan termasuk upacara bendera lalu kita laksanakan meriah. Tunjukkan kebinekaan kita dengan seni dan budaya," kata Menteri Sekretaris Negara Pratikno saat jumpa media di Bandung, Jawa Barat, Jumat (25/8).
Hanya saja, arti kebinekaan lewat seni dan budaya masih terasa kurang mendalam jika melihat pada kejadian belakangan ini. Seperti masyarakat Badui Dalam Kampung Cibeo, Desa Kanekes, Kabupaten Lebak, Banten yang tak bisa mencantumkan agama lokal "Selam Sunda Wiwitan" pada kolom agama e-KTP.
Tetua Masyarakat Badui Dalam, Ayah Mursid meminta pemerintah mencantumkan agama lokal. Masyarakat Badui merasa sangat keberatan agama mereka tidak tercantum pada e-KTP. Seolah-olah mereka tak memiliki agama.
Karena itu, pihaknya tidak setuju pada kebijakan Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo yang mengosongkan kolom agama pada e-KTP bagi warga yang menganut aliran kepercayaan.
"Kami berharap keyakinan masyarakat Badui yakni Selam Sunda Wiwitan diakui oleh pemerintah dan dicantumkan pada e-KTP," kata Ayah Mursid, di Lebak, Selasa (22/8) seperti dilansir dari Antara.
Masyarakat Badui saat ini berjumlah sekitar 11.699 jiwa. Sejak 1970 hingga 2010 kepercayaan mereka tertulis pada kolom KTP. Saat ini kolom agama yang dicantumkan pada KTP hanya agama resmi yang diakui pemerintah yakni Islam, Katolik, Kristen, Hindu, Buddha, dan Konghucu.
Kurator Karnaval Kemerdekaan Aat Suratin menilai Indonesia belum final membahas soal tradisi. Pria yang juga budayawan itu berpendapat seharusnya keputusan tersebut belum bisa diambil.
"Pendapat saya pribadi, kalau kita bicara hukum formal melulu kita engggak akan menemukan keadilan sejati. Hukum dijatuhkan berdasarkan hal terukur, tapi ketika kita merasa itu tidak adil karena tidak ada pertimbangan rasa. Keadilan sebetulnya bukan hanya terukur tapi terasa," kata Aat kepada CNNIndonesia.com, Bandung, Jumat (25/8).
Selain masalah agama, masalah lain terjadi pada masyarakat adat Sunda Wiwitan Paseban Cigugur, Kuningan Jawa Barat. Dari tempat itu lahir agama Sunda Wiwitan yang menyebar ke peloton Jawa Barat, bahkan jauh sebelum Indonesia merdeka.
Mereka harus menghadapi masalah lantaran Pengadilan Negeri Kuningan berencana mengeksekusi lahan mereka yang menjadi sengketa. Kamis (24/8) masyarakat tersebut mengadang petugas Pengadilan Negeri Kuningan yang hendak mengeksekusi lahan. Dari pagi hingga petang perjuangan mereka berhasil, namun bukan tak mungkin eksekusi akan dilakukan kembali lagi.
Hal ini juga yang menyebabkan masyarakat adat Cigugur akhirnya batal hadir dalam Karnaval Kemerdekaan. Menanggapi hal ini, Aat pun mengaku menghormati dan memahami keputusan masyarakat adat Cigugur.
Melihat masalah ini, Aat menilai Indonesia belum membicarakan secara detail soal tanah adat. Surat kepemilikan lahan menjadi sangat berharga sebagai tanda bukti kepemilikan, namun masyarakat adat punya pemikiran lain terkait hal itu.
"Masyarakat adat sangat boleh jadi tinggal di situ bahkan ketika kertas belum ada. Atau mereka tinggal di situ sebelum hukum positif kita kenal," kata Aat.
Merangkum permasalahan yang bersinggungan dengan adat dan budaya, menurut Aat Indonesia harus meninjau kembali ukuran hukum formal. Seperti agama yang tidak boleh dicantumkan karena tidak ada aturan. Seharusnya Indonesia menyikapi masalah tersebut dengan sistem musyawarah mufakat yang detail.
"Saya kira tugas DPR banyak sekali, hukum positif memang harus kita hormati agar ada standar hukum. Tapi jangan salah, rasa keadilan lahir dari sebuah ekosistem, rasa keadilan berbeda-beda karena berbagai situasi." </span> (chs)
Baca Kelanjutan Karnaval Kemerdekaan di Pusaran Masalah 'Kebinekaan' : http://ift.tt/2w5n8o4Bagikan Berita Ini
0 Response to "Karnaval Kemerdekaan di Pusaran Masalah 'Kebinekaan'"
Post a Comment