Sekitar pukul 06.00 WIB, Minggu (2/7) pagi ia baru saja tiba di terminal bus Kampung Rambutan, Jakarta Timur, setelah menempuh perjalanan selama hampir 10 jam dari Purwokerto, Jawa Tengah.
Sejak 1984, Kisno sudah berprofesi sebagai sopir bis Antar Kota dan Antar Provinsi rute Jakarta-Purwokerto. Selama itu pula, ayah dari tiga orang anak ini tidak pernah merayakan hari raya Idulfitri bersama keluarga.
Kisno dan seluruh keluarga tinggal di Purwokerto. Namun, meski mengemudikan bus rute Jakarta-Purwokerto dan sebaliknya, ia hanya bisa bermalam di terminal atau pool perusahaan otobus (PO) di tempat tujuannya.
Tak ada waktu baginya untuk singgah di rumah. Jangankan melepas rindu dengan anggota keluarga di hari Idulfitri, waktu buat tidur saja, kata Kisno, sulit sekali ia dapatkan.
"Untungnya (keluarga) sudah pada ngerti. Sekarang juga kan sudah kenal teknologi, jadi bisa telepon-teleponan," ujar Kisno kepada CNNIndonesia.com.
Kisno tak hanya harus jauh dari keluarga. Dia juga harus rela terjebak berjam-jam, bahkan berhari-hari dalam kemacetan panjang. Terutama saat memasuki musim mudik dan balik Lebaran seperti saat ini.
"Kalau makin lama di jalan, biayanya kan pasti juga lebih besar. Buat makan, dan sebagainya. Sementara duit akomodasi untuk satu kali pulang pergi (Jakarta-Purwokerto) cuma Rp40 ribu," keluhnya.
Tak jauh berbeda dengan Kisno, Agus, 50 tahun, yang mencoba peruntungan menjadi pengangkut barang atau porter di terminal Kampung Rambutan, mengaku 'sengaja' tak pulang kampung demi pendapatan lebih besar selama musim mudik lebaran.Setiap harinya, pria asal Kuningan, Jawa Barat, ini sudah berjaga di terminal sejak pukul 06.00 WIB untuk mencari penumpang yang membutuhkan jasanya.
Agus sudah menjadi porter selama tiga tahun. Selama itu pula ia rela pulang hingga larut malam, hanya demi mengumpulkan duit lebih banyak dari penumpang yang membludak sejak seminggu sebelum hari H.
"Kalau hari biasa, kadang seharian cuma dapat Rp30 ribu. Tapi kalau lagi musim mudik dan balik seperti ini, bisa sampai Rp200 ribu sehari," katanya.
Pentingnya Jaga Stamina
Bekerja sebagai sopir maupun porter tentu tidak mudah. Agus mengakui bahwa saat ramai 'orderan', tenaga dan staminanya terkuras luar biasa. Rasa pegal yang melanda di hari-hari sibuk, seperti H-7 lebaran hingga H 7 lebaran, kadang sampai berujung mati rasa.
Di usia yang tidak lagi muda, keduanya tentu harus tahu bagaimana menjaga kesehatan agar tidak tumbang saat bertugas. Terlebih, mereka hidup jauh dari keluarga. Tidak ada yang bantu mengurusi.
"Kalau sudah capek, ya mending saya istirahat dulu. Tidur di kontrakan. Kebetulan sangat dekat dari terminal. Atau minum jamu gendong. Tiap hari suka ada yang lewat, kok," kata Agus.
Sementara Kisno, punya racikan 'jamu' rahasia yang diakuinya ampuh mengatasi rasa pegal pada pinggang karena terlalu lama duduk menyetir.
"Biasanya saya selalu sedia permen yang saya buat sendiri. Saya buat dari buah pinang kering yang ditumbuk dengan merica dan gula batu. Itu ampuh biar enggak sering sakit pinggang," kata Kisno sembari tersenyum lebar.
Tugas berat selama masa mudik dan arus balik itu baru akan selesai saat jumlah penumpang di terminal kembali normal. Jika sudah demikian, Kisno mengatakan selalu berusaha meminta waktu rehat dari pimpinan PO.
"Minimal seminggu. Baru saya pulang ke rumah. Istirahat penuh. Banyak-banyakin tidur biar fit lagi setelahnya," kata Kisno, mengakhiri perbincangan dengan CNNIndonesia.com. (pit)
Baca Kelanjutan Kisah Pengemudi Bus yang Jauh dari Keluarga di Hari Lebaran : http://ift.tt/2t8dAY5Bagikan Berita Ini
0 Response to "Kisah Pengemudi Bus yang Jauh dari Keluarga di Hari Lebaran"
Post a Comment