"Kecenderungan kehidupan agama ini semakin mengeras. Dalam melihat sisi perbedaannya ada sebagian [kelompok] beragama begitu fanatik, sehingga saking fanatik lalu kemudian mengecilkan sama sekali toleransi," kata Lukman saat memberi sambutan dalam diskusi buku di Taman Ismail Marzuki, Jakarta, Sabtu (22/7) petang.
Lukman menilai fanatisme beragama tersebut oleh sebagian kelompok diterjemahkan dengan menghilangkan ada yang berbeda dari dirinya.
"Makanya dia memaksa dan seterusnya. Dari sini konflik atas nama agama muncul," ujar Lukman.
Putra dari Menteri Agama di era Presiden Soekarno, Saifuddin Zuhri, tersebut menegaskan kehadiran kelompok agama yang fanatik itu tak berdiri sendiri."Sebagian besar pemahaman terbatas [atas] substansi agama. Itu karena keterbatasan pengetahuan," ujar Lukman.
"Bagaimanapun juga, kita [umat beragama] belajar untuk memahami apa yang Tuhan kehendaki. Kita interpretasikan bagaimana, menafsirkan firman Tuhan, kehendak Tuhan. Masing-masing punya keterbatasan, itu enggak mungkin menangkap secara komprehensif apa sebenarnya kehendak Tuhan tentang firman-firmannya itu."
Sebelumnya, dalam pidato sambutan untuk buku Bukan Perawan Maria, Lukman menilai faktor lain yang membuat kehidupan keagamaan seperti kehilangan dari substansi agama. Ia mengatakan di antara faktor kompleks tersebut adalah mengenai kompetisi hidup.
"Karena Tuhan enggak lagi menciptakan lahan," kata Lukman.
"Ini mau enggak mau membuat kita saling berkompetisi. Agama kemudian tidak terhindarkan. Ini bisa menjadi alat justifikasi, pembenaran kompetisi yang sedang dilakukan atau alat memandu kita untuk jalani kompetisi," sambung Lukman.
Situasi konflik terkait unsur agama termasuk suku, ras, dan antargolongan yang kerap disingkat SARA dinilai makin meningkat di Indonesia. Hal paling mencolok, sentimen SARA tersebut meningkat saat proses Pilkada DKI 2017 dan menyebar ke daerah lain.
Di Jakarta, sentimen SARA merebak selama Pilkada DKI Jakarta. Hal itu dengan mudah bisa dilihat di media sosial. Namun intoleransi dan kasus SARA di Indonesia tak hanya merebak selama Pilkada DKI Jakarta.
Dalam laporan tahunan tentang survei kondisi kebebasan beragama atau berkeyakinan selama 2016, Setara Institute mencatat, terjadi 208 peristiwa pelanggaran kebebasan beragama atau berkeyakinan sepanjang tahun lalu. Terdapat 270 tindakan pelanggaran kebebasan beragama yang tersebar di 24 daerah.
Pembelokan Konflik
Sementara itu, peneliti asal King Fadh University of Saudi Arabia, Sumanto Al Qurtuby, menyatakan polemik radikalisme di timut tengah sering kali dibelokkan maknanya oleh kelompok-kelompok yang ada di Indonesia.
Pembelokkan tersebut dilakukan dengan latar belakang kepentingan-kepentingan dari kelompok-kelompok tersebut.
"Yang saya tangkap ada pembelokkan persoalan, apa yang terjadi di sana dimanfaatkan oleh kelompok di sini," kata Sumanto saat ditemui di Gedung Badan PPSDM Kementerian Kesehatan, Sabtu (22/7).
Sumanto menyatakan konflik di Timur Tengah itu dimanipulasi dan dijadikan doktrin yang disebarluaskan ke masyarakat di Indonesia.
"Konflik di sana itu banyak macamnya, tapi di sini [Indonesia] selalu dianggap masalah teologis," kata Qurtuby. (kid)
Baca Kelanjutan Menag: Kehidupan Agama Semakin Mengeras : http://ift.tt/2tz0tRjBagikan Berita Ini
0 Response to "Menag: Kehidupan Agama Semakin Mengeras"
Post a Comment