"Aparat kepolisian tidak disiapkan untuk mengenal atau menangani masyarakat Papua. Jadi, setiap ada perselisihan, mereka ambil jalan pintas dengan menggunakan tindakan tembakan," katanya di kantor Amnesti Internasional Indonesia, Jakarta, Selasa (8/8).
Usman mengatakan, seharusnya ada dialog di antara kedua pihak dengan menggunakan pendekatan persuasif. Selain itu, absennya penegakkan hukum di Papua juga dianggap menjadi penyebab maraknya kasus pelanggaran HAM di sana.
Terdapat komplikasi persoalan politik pemerintahan di Papua seperti pertarungan kekuasaan parpol di tingkat pemilih lokal, serta konflik berbasis tanah antara perusahaan dengan warga setempat. Masalah-masalah tersebut, berdasarkan pantauan Usman dan timnya, tidak dibarengi dengan penegakkan hukum.
"Ada urusan pemekaran wilayah, investasi perluasan perkebunan yang menimbullan konflik di masyarakat, di tengah hukumnya yang masih belum beres. Absennya penegakkan hukum selama ini membuat peristiwa ini terus berulang," ujarnya.
Dalam kesempatan yang sama, Kepala Divisi Pembela HAM KontraS Arief Nur Fikri juga memaparkan catatan tentang 16 peristiwa kekerasan menggunakan pendekatan keamanan yang terjadi di Papua per Agustus 2016 hingga Agustus 2017.
Keenam belas peristiwa yang terjadi selama satu tahun itu mengakibatkan setidaknya 44 korban terluka dan tiga korban tewas.
Motif kekerasan didominasi oleh aparat kepolisian yang melakukan pembubaran paksa pada aksi damai, serta penggunaan senjata api yang tidak terukur. Belakangan, penggunaan senjata api kerap dipakai tanpa prosedur yang jelas, seperti terjadi pada insiden Deiyai, Selasa (1/8).
"Kami enggak pernah tahu alasan diskresi kepolisian yang sepihak. Jangan sampai penggunaan senjata api dilakukan sewenang-wenang," kata Arief. </span> (pmg/gil)
Baca Kelanjutan Amnesty International: Polisi Tak Memahami Papua : http://ift.tt/2vAzXalBagikan Berita Ini
0 Response to "Amnesty International: Polisi Tak Memahami Papua"
Post a Comment