Menggugat Gedung dan Mal Berbahasa Asing di Indonesia

Masyarakat Indonesia, khususnya warga DKI Jakarta, lazim menjumpai bangunan atau gedung dengan nama menggunakan pembendaharaan kata bahasa asing.

Nama-nama berkosakata asing bisa dijumpai di pusat perbelanjaan atau mal, gedung kantor, hotel, rumah sakit, lembaga pendidikan, hingga kedai kopi kelas menengah yang berada di pinggiran kota. Kompleks perumahan masa kini pun tidak sedikit yang bernuansa barat dalam penggunaan namanya.

Banyak di antara bangunan itu telah berdiri sejak lama. Tidak sedikit pula bangunan baru dengan nama berbahasa asing.

Merujuk Undang-Undang Nomor 24 tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, serta Lagu Kebangsaan, penamaan bangunan menggunakan kosakata bahasa asing merupakan hal yang tidak diperkenankan di Indonesia.

Pasal 36 ayat (3) undang-undang itu menyatakan bahwa, Bahasa Indonesia wajib digunakan untuk nama bangunan atau gedung, jalan, apartemen atau permukiman, perkantoran, kompleks perdagangan, merek dagang, lembaga usaha, lembaga pendidikan, organisasi yang didirikan atau yang dimiliki oleh warga negara Indonesia atau badan hukum Indonesia.

Pengecualian hanya berlaku bagi gadung atau bangunan yang memiliki nilai sejarah, budaya, adat istiadat, dan/atau keagamaan. Hal itu diatur dalam pasal 36 ayat (4).

Pakar hukum tata negara Universitas Parahyangan, Asep Warlan Yusuf mengatakan, undang-undang No. 24 tahun 2009 diterbitkan untuk mempertegas posisi bendera, bahasa, lagu kebangsaan, dan lambang negara sebagai identitas, kehormatan, dan harga diri bangsa Indonesia.

Perihal bahasa, kata Asep, dimaksudkan agar masyarakat lebih mencintai bahasa Indonesia. Lewat undang-undang tersebut, penggunaan bahasa Indonesia didorong agar lebih membumi di masyarakat, termasuk untuk penamaan bangunan.

Undang-undang diterbitkan, kata Asep, agar pemilik bangunan berbahasa asing mengganti nama bangunannya ke bahasa Indonesia.

"Diusahakan agar bangunan selain bangunan bersejarah dan keagamaan agar mengganti nama menggunakan bahasa Indonesia," kata Asep.

Alih-alih membatasi gedung baru dengan nama berbahasa asing, pemilik gedung dan bangunan di kota-kota besar kini malah banyak mengabaikan UU No.24 tahun 2009.

Asep menanggapi itu sebagai hal lazim. Bukan karena kemajuan zaman, kata dia, melainkan karena tidak ada ketentuan pidana dalam UU No. 24 tahun 2009 terkait penamaan gedung yang tidak menggunakan bahasa Indonesia.

"Problemnya adalah kewajiban itu tidak ada sanksinya. Penegakkan hukumnya menjadi lemah," Kata Asep.

Dikatakan Asep, ketentuan pidana hanya ada bagi mereka yang tidak mematuhi undang-undang tersebut terkait bendera, lagu kebangsaan, dan lambang negara.

"Sementara ketentuan pidana jika tidak mematuhi penggunaan bahasa Indonesia yang tercantum dalam UU itu tidak ada," kata Asep.

Asep menyarankan Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo menerbitkan surat edaran kepada pemerintah daerah untuk menertibkan bangunan yang menggunakan bahasa asing dalam penamaannya.

Tjahjo, kata Asep, dapat menyertakan ketentuan sanksi dalam surat edaran bilamana masih ada yang tidak patuh. Nantinya, pemda yang memberikan sanksi.

"Misalnya berupa pencabutan izin karena telah melanggar UU No. 24 tahun 2009," lanjut Asep.

Pemda juga bisa lebih tegas dan memperketat perizinan. Syarat penamaan gedung menjadi salah satu poin yang harus dipatuhi pengembang/pemilik.

Lebih lanjut, Asep mengatakan, perusahaan multinasional yang membuka cabang di Indonesia pun mesti mematuhi peraturan yang berlaku. Tetapi bukan nama perusahaannyan yang diganti.

"Google, misalnya, jadi Gedung Google atau Kantor Google. Tidak boleh Google building," tutur Asep.

Menurut Asep, penerbitan surat edaran oleh Tjahjo merupakan langkah yang paling efisien saat ini. Sebetulnya, UU No.24 tahun 2009 dapat direvisi dengan menambahkan ketentuan sanksi terkait penggunaan bahasa Indonesia.

Namun, kata Asep, revisi undang-undang selalu mengalami proses yang sangat lama di DPR. Oleh karena itu, pemberian surat edaran oleh Tjahjo untuk memperketat pemberian izin bangunan jauh lebih efisien.

"Undang-undangnya tidak usah direvisi tetapi diletakkan ke aspek perizinan saja. Dalam jangka pendek lebih baik seperti itu," ujar Asep. </span> (gil)

Let's block ads! (Why?)

Baca Kelanjutan Menggugat Gedung dan Mal Berbahasa Asing di Indonesia : http://ift.tt/2gos1mN

Bagikan Berita Ini