"Hari ini kita tentu dari Dinas Kesehatan DKI dan Kementerian Kesehatan akan pergi ke rumah sakit. Kita harus dengarkan dari dua pihak, jadi tidak hanya satu pihak," kata Nila di Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian (PTIK), Jakarta Selatan, Senin (11/9).
Nila menjelaskan, sudah ada regulasi bagaimana RS menangani pasien gawat darurat yang tercantum dalam Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit. RS harus menangani pasien gawat darurat tanpa memikirkan biaya terlebih dahulu.
Adapun beleid Pasal 29 ayat 1 butir (f) UU itu menyebutkan, setiap rumah sakit berkewajiban untuk melaksanakan fungsi sosial antara lain dengan memberikan fasilitas pelayanan pasien tidak mampu/miskin, pelayanan gawat darurat tanpa uang muka, ambulan gratis, pelayanan korban bencana dan kejadian luar biasa, atau bakti sosial bagi misi kemanusiaan.
"Tapi melihat dari apa yang dijawab rumah sakit, mereka menolong dan kemudian kita harus tahu sampai sejauh mana keadaan penyakit anak tersebut. Itu yang harus kita lihat, apa pun juga barang kali akan sulit, mungkin di sini yang harus kita lihat dulu," kata Nila.
"Nah ini nanti kita konformasi, mana yang benar mana yang tidak benar. Sementara itu dulu, hari ini kita akan dapat klarifikasi," kata Nila.
Kisah Debora, bayi berusia empat bulan itu dimulai sejak ia meninggal pada Minggu (3/9) pekan lalu. Sebelumnya, Debora mengalami batuk berdahak dan sesak nafas.
Orang tuanya, Henny Silalahi dan Rudianto Simanjorang membawa Debora ke RS Mitra Keluarga, Kalideres, Jakarta Barat. Debora tiba di Instalasi gawat darurat (IGD) RS tersebut, namun kondisinya yang memburuk Debora dinyatakan harus segera dibawa ke ruang pediatric intensive care unit (PICU).
Diketahui untuk bisa masuk ke ruang tersebut, uang muka Rp19,8 juta harus disediakan. Kartu BPJS Kesehatan yang dimiliki tak bisa digunakan karena rumah sakit swasta itu tak punya kerja sama.
Bagikan Berita Ini
0 Response to "Menkes Cecar RS Mitra Keluarga Kalideres Soal Bayi Debora"
Post a Comment